Sepuluh Hal Yang Lalu Lalang Di Kepala Akhir-Akhir Ini

Friday, April 03, 2015




teen angst
1. Ulang Tahun.

Tanggal 20 Maret kemarin, umur saya bertambah. Saya sekarang telah berumur 21 tahun. Dan jika merujuk pada lirik lagu ‘What’s My Age Again’ milik Blink 182, maka saya punya waktu dua tahun lagi sebelum orang-orang mulai tidak menyukai saya. Sebenarnya, sejak saya menginjak umur 20 tahun, saya merasa saya sudah benar-benar harus menjadi dewasa–tetapi saya belum mau untuk menjadi dewasa. Baru sekarang, saya merasa bahwa saya harus menjadi dewasa karena umur saya sudah lebih dari 20 tahun.
Menjadi dewasa sebenarnya adalah sebuah hal naluriah yang tidak bisa dipaksakan, tetapi, untuk saat ini, saya ingin memaksakan diri saya menjadi dewasa. Atau setidaknya, berpura-pura untuk menjadi dewasa. Saya merasa selama ini saya terlalu santai dalam menjalani hidup: merasa masa bodoh dengan segala hal, mengabaikan saran-saran orang lain, terlalu egois, kekanak-kanakan dan gegabah. Bagi saya, inilah saatnya untuk membuat sendiri turning point dalam hidup saya untuk berubah.
Sebentar lagi saya lulus kuliah dan benar-benar berkecimpung dalam masyarakat (jika mengikuti gelar kesarjanaan yang akan saya sandang nanti: Sarjana Ilmu Politik), dan untuk itu, saya harus merubah diri saya.
Setidaknya berubah untuk kebaikan diri sendiri terlebih dahulu. (Lihat, saya memang egois kan?)

2. Demokrasi.

Banyak berdiskusi dengan orang-orang dengan tingkat pehamaman yang tinggi akan suatu hal dan banyak membaca buku berbeda tentang satu bahasan yang sama, secara otomatis, membuat pandangan saya terhadap hal-hal tersebut menjadi bertambah dan/atau berubah. Pada awalnya, saya hanya memandang atau memahami sesuatu hal hanya dari sisi yang saya pahami hasil membaca dari satu bacaan saja. Jika dari bacaan saya itu menyebutkan bahwa hal tersebut salah, maka saya percaya bahwa itu salah dan vice versa. Tetapi setelah saya banyak berdiskusi dengan orang-orang yang berbeda, lambat laun pandangan tersebut menjadi berbeda.
Segala sesuatu hal diciptakan berpasangan, ya-tidak, baik-buruk, dll dll dll. Dan begitupun dengan segala hal lainnya. Misal, demokrasi. Pada awalnya saya percaya bahwa demokrasi adalah yang terbaik. Tetapi, setelah saya membaca beberapa buku alternatif dan berdiskusi dengan beberapa senior di kampus, saya menjadi beranggapan bahwa demokrasi itu buruk.

Apa pasal?

Logikanya seperti ini, dengan pendekatan demokrasi, suara seorang profesor itu sama dengan suara seorang idiot. Atau, suara seorang ulama sama dengan suara pendosa. Dengan demokrasi, jika mayoritas masyarakat menginginkan bahwa membunuh orang itu disahkan, maka membunuh orang itu akan sah. Karena demokrasi di Indonesia saat ini dapat dengan mudah mengesampingkan hukum-hukum yang berlaku.
Pun sama dalam hal biaya, dalam praktik demokrasi di Indonesia, ambil sampel Pemilu saja, coba saja cari tahu berapa biaya pengeluaran APBD untuk Pilkada di ratusan daerah di Indonesia dalam satu tahun? Pokoknya, bisa mencapai total triliunan rupiah. Suatu harga yang cukup tinggi untuk membiayai hasrat berdemokrasi.
Dan oleh karena ini, saya menjadi skeptis terhadap demokrasi yang sekarang diagung-agungkan di Indonesia ini.

3. Musik.

Hidup saya sangat berhubungan dengan musik. Setiap harinya saya mendengarkan puluhan hingga ratusan lagu dari band/musisi yang berbeda-beda. Saya dulu sering terkotak dalam satu jenis musik saja. Dimana saya bisa berlama-lama mendengarkan satu jenis musik saja, dan menganggap bahwa jenis musik lain itu jelek.
Tapi semakin kesini, saya menjadi sangat terbuka. Saya sekarang mendengarkan segala macam jenis musik dari indie pop hingga k-pop tanpa batasan-batasan tertentu. Saya bisa mendengarkan rilisan-rilisan Captured Tracks dan kemudian mendengarkan katalog OM Sera.
Jujur, saya terkadang merasa bahwa selera musik saya lebih bagus dari kawan-kawan saya. Bukan karena saya banyak mengerti musik dan tetek bengeknya, tetapi karena saya tidak terkotak hanya pada satu jenis musik saja. Karena hal-hal itu, saya terkadang men-judge seseorang dari jenis musik yang mereka dengarkan.
Jujur saja, saya sering menganggap bahwa orang yang mendengarkan musik-musik standar (Hmm, ini standar yang saya buat sendiri. Karena sebenarnya dalam musik tidak ada standar-standar tertentu), sekeren apapun mereka, bagi saya dia biasa-biasa saja. Dan sebaliknya, orang-orang biasa saja yang memiliki selera musik yang bagus (Lagi-lagi, bagus menurut selera saya), adalah orang-orang yang keren.
Jadi, terkadang dan kebanyakan saya menilai kekerenan seseorang itu dari musik yang mereka dengarkan.

4. Cinta.

Saya sudah terlalu lama single. Saya butuh sosok pacar untuk menerangi jalan saya.

5. Kiri-Kanan.

Akhir-akhir ini saya sering membahas dikotomi kiri-kanan dalam ideologi politik. Stigma masyarakat bahwa kiri = komunis = ateis membuat saya muak sekaligus sedih. Sesempit itukah pandangan mereka?
Putri Indonesia yang menggunakan kaos palu arit pun langsung di cap ateis dan melukai pancasila.
Bahkan PRD, salah satu partai yang berpartisipasi dalam penggulingan orde baru yang berideologi sosialis–tetapi masyarakat kadung mencap partai itu sebagai partai kiri, sampai harus merubah ideologinya menjadi pancasilais karena lelah dengan cap buruk masyarakat bahwa kiri itu komunis.
Meskipun sekarang banyak muncul literatur lintas media yang berusaha mencerahkan masyarakat bahwa sebenarnya yang jahat itu bukan ideologi komunis melainkan militer, tetapi stigma di masyarakat itu kadung sudah melekat hingga ke pori-pori sehingga susah untuk dirubah.
Hal lainnya adalah, banyak kawan-kawan saya di kampus, yang menganggap buruk citra kiri, lantas mendeklarasikan dirinya sebagai kaum kanan. Saya kerap bertanya, kanan yang mana? Apakah karena kiri itu kalian anggap buruk lantas kanan kalian anggap sebagai yang paling baik? Ketika saya tanya itu, kebanyakan dari mereka menjawab: Saya 100% nasionalis. Saya lantas berpikir, bahwa mereka berbahaya, karena mereka berpotensi untuk menjadi fasis atau chauvinis. Karena dua itu, chauvinis dan fasis adalah hasil dari menjadi terlalu kanan. Ambil contoh NAZI di Jerman, atau mungkin NII di Indonesia, dua kasus itu adalah hasil dari terlalu menjauh ke kanan. Jika NAZI adalah fasisme murni, NII adalah hasil dari fasisme agama.
Tetapi, terkadang, saya beranggapan bahwa mereka tak begitu paham apa yang ada di kiri dan di kanan. Mereka hanya telah terdoktrinasi bahwa kiri itu negatif, maka sebaliknya, kanan itu positif. Hmm. Lagi-lagi pragmatisme (meskipun kebanyakan dari mereka bahkan tak tahu apa itu pragmatis).

hmm. lagi-lagi saya terkesan merendahkan orang lain.
6. Sombong.

Iya, saya merasa bahwa saya sombong dengan sering merendahkan orang lain meskipun itu dalam hati. Dan ini yang ingin saya rubah. Saya lupa memasukkan ini kedalam poin nomor satu.

7. Agama.

Saya menjadi sangat jarang shalat. Tetapi belum dan tidak terpikir untuk menjadi ateis. Saya membutuhkan agama untuk bersandar dan menjadi pegangan.

8. Sadford Lads Club.

Saya rindu berada diatas panggung dengan band saya itu.

9. Musik II

Saya membikin netlabel bernama Barokah Records yang telah dan akan merilis band-band underrated favorit saya.

10. Cinta II

Benar, saya butuh sosok seorang pacar.

You Might Also Like

0 comments

Subscribe