5 Album Terbaik 2015

Wednesday, December 30, 2015

tooop
(p.s saya mulai menulis ini jam 9 malam, dan saya baru menyelesaikan tulisan ini jam 4 pagi. susu coklat habis, rokok juga habis.)
+/-
Sufjan Stevens – Carrie & Lowella2231815864_10
ada getir yang Sufjan Stevens coba sampaikan lewat album ini sejak lagu pertama. lewat album ini, Sufjan Stevens seakan ingin berbagi rasa sakit setelah kehilangan Ibunya, Carrie, seorang pecandu alkohol dan pengidap skizoprenia. tapi sakit yang dirasakan Sufjan Stevens bukan karena kematian itu sendiri, tetapi karena hubungan dengan Ibunya yang tidak begitu baik. seperti yang coba dia sampaikan dalam track ‘I Should Have Known Better‘, Sufjan Stevens bercerita bahwa dia pernah ditinggalkan ibunya di sebuah video store saat berumur tiga atau empat tahun; “when I was three, three maybe four/ she left us at that video store…”
lagu favorit saya adalah ‘The Only Things‘, dimana lewat lagu ini Sufjan Stevens bercerita bahwa agar dia merasa terhubung dengan Ibunya, dia mencoba untuk meniru kebiasaan self-destructive Ibunya. pada masa itu, Sufjan Stevens telah memasuki fase-fase dimana dia mencoba untuk menyakiti dirinya (“the only thing that keeps me from driving this car/ half-light, jack knife into the canyon at night…”) dan bahkan mencoba untuk bunuh diri (“the only thing that keeps me from cutting my arm/ cross hatch, warm bath, Holiday Inn after dark…”) hingga pada akhirnya dia menemukan keindahan dalam agama/tuhan dan juga alam semesta. (“the only reason why i continue at all/ faith in reason, i wasted my life playing dumb…”) di track ini, semua kengerian ini dibawakan Sufjan Stevens secara melodius dengan sentuhan-sentuhan yang halus.
secara keseluruhan, Carrie & Lowell merupakan sebuah album yang sangat personal dari (dan bagi) Sufjan Stevens. album ini juga merupakan sebuah penebusan dosa Sufjan Stevens yang saat Ibunya meninggal dia memanipulasi perasaannya sendiri agar dia tidak berduka. yang hasilnya adalah 11 lagu dengan durasi total 42 menit yang penuh akan obsesi terhadap duka dan kematian, tetapi di sisi lain merupakan sebuah media katarsis seorang Sufjan Stevens.

Mac DeMarco – Another Onemac-demarco-another-one-stream

melanjutkan apa yang sudah dilakukannya dalam album Salad Days, Mac DeMarco semakin berubah menjadi seorang chill dude. namun tentunya tetap dengan gaya slacker-nya yang mungkin telah menjadi nama tengah dari Mac DeMarco.
berbeda dari tiga album sebelumnya yang lebih mengedepankan gitar dibanding instrumen lainnya, di Another One ini Mac mencoba untuk bermain-main dengan piano —atau lebih tepatnya, synthesizer. hampir semua lagu di Another One ini dikomandoi oleh ketukan tuts piano yang manis namun terdengar sedikit rapuh. tapi jangan sedih bagi kalian penggemar permainan gitar Mac di tiga albumnya sebelum ini, karena masih ada melodi-melodi gitarnya yang lusuh —namun khas— dengan knob chorus dan reverb yang diputar maksimal.
di album ini, lirik yang ditulis Mac lebih berkisar pada penyesalan dan tentang hal-hal yang sebenarnya bisa dilakukan dengan lebih baik. pada track ‘Antoher One‘ yang berjudul sama dengan mini album ini, Mac membayangkan mantan kekasihnya yang telah memiliki pria baru dan membiarkan dia kesusahan untuk menerima fakta bahwa mantan kekasihnya telah move on sambil bernyanyi “the feelin’ never stops/ and neither does the clock…” dengan ringkih. di album ini kita seperti bertemu dengan Mac yang sedang patah hati di halaman belakang rumahnya. pesta telah usai, bir sudah habis dan Mac lantas menyanyikan bait paling sedih yang pernah dia tulis tanpa harus terlihat menyedihkan dalam track ‘Without Me‘: “will she find love again tomorrow/ i don’t know, i hope so/ and that’s fine, fine by me/ as long as, long as i know she’s happy…” dengan semua kegilaannya ketika era Rock ‘n Roll Night Club2, hingga bahkan Salad Days, saya tidak pernah menyangka bahwa Mac akan menjadi sejujur dan se-fragile ini. lewat Another One, Mac seolah merenungkan ketidaktentuan hubungan cintanya sambil tetap berujar “believe me/ i’ve been waiting for her.
diakhir lagu intsrumental yang juga penutup mini album ini, Mac menyebutkan alamat rumah barunya sambil menawarkan segelas kopi. jika saya memang berada di Far Rockaway, saya sudah jelas akan datang kerumahnya untuk menjadi orang yang bisa mendengarkan seseorang yang butuh teman untuk berbicara, atau untuk sekedar memberikannya distraksi. karena saat ini, Mac sedang benar-benar patah hati.

Jessica Pratt – On Your Own Love Again

saat pertama kali mendengarkan single-nya yang berjudul ‘Back, Baby‘, saya langsung jatuh cinta dengan Jessica Pratt. yang membuat saya jatuh cinta adalah karakter vokal dari Jessica Pratt yang terdengar unik, juga pelafalan bahasa inggris-nya yang membuat saya mengira Kate Bush membikin album baru.
Jessica Pratt, lewat album On Your Own Love Again berhasil membuat saya merasakan kehangatan yang dia salurkan lewat 9 lagu yang terdapat dalam album tersebut. album ini memiliki atmosfir home-recording yang kuat, vokal yang unik sekaligus indah dan juga harmonisasi yang, hmm, lucid? bagi saya album ini terdengar seperti perpaduan musik dream pop dan neo-psych yang dibawakan dalam format akustik secara pas. tidak ada kekurangan dan juga tidak berlebihan.
dalam urusan lirik, gaya penulisan lirik dalam album ini sangat terasa padu, singkat namun memikat. “i look so long, i can’t say i’ve found another friend like you; you and i,” ujar Pratt dalam track ‘Jacquelyn in the Background‘ dimana dia bercerita tentang kehilangan seorang sahabat.  “deep inside my lonely room/ i cry the tears of never knowing you,” tambahnya. dalam track ini, Pratt seperti mencari kata-kata yang tepat untuk menggambarkan rasa sepinya karena kehilangan sahabatnya. seperti juga dalam track ‘Back, Baby‘, Pratt berusaha untuk bijaksana dalam menggambarkan hubungan yang tak berjalan semestinya. “if there was a time when you loved me/ if there was a time when you said that you want me to believe,” ujarnya rapuh. berharap untuk dapat memutar waktu. tapi dengan sadar kemudian dia meneruskan bernyanyi dengan lebih lapang dada, “but you can’t go back, baby/ can’t go back, baby/ and sometimes I pray for the rain…” dan semua ini diakhiri dengan sebuah klise: “but things like that, they never do work out right.
secara keseluruhan, On Your Own Love Again ini mempunyai lirik-lirik yang mendalam yang dibalut dengan musik yang indah. terkadang suara petikan gitarnya terdengar seperti harpa dan terdengar elegan, tapi terkadang juga terdengar rapuh. nada-nada dalam lagu-lagu di album ini terasa sangat familiar, seperti kawan lama, seperti seorang kekasih, atau seperti seorang ibu. ada rasa hangat yang membuat saya merasa seperti pernah mendengar lagu-lagu Jessica Pratt di suatu tempat, dimana rintik-rintik hujan turun secara perlahan.

Title Fight – Hyperview

mendengarkan Hyperview itu seperti bertemu kawan lama yang sudah sangat kita kenal tapi kemudian berubah. saya sudah akrab dengan musik Title Fight sejak SMA. waktu itu, ketika untuk pertama kalinya berkenalan dengan Title Fight, saya mendengarkan album The Last Thing You Forget. dan saya langsung menyukai Title Fight karena mereka memiliki kemiripan dengan Jawbreaker atau Man Overboard yang waktu itu sedang saya sukai. saya tidak pernah mengira bahwa Title Fight akan berubah menjadi sebuah band shoegaze.
tapi sebenarnya, aura perubahan Title Fight sudah mulai tercium sejak EP Spring Songs tahun 2013 silam seperti yang samar terdengar dibalik raungan gitar pada track ‘Be A Toy‘ atau ‘Receiving Line‘. saya pikir, pada waktu itu Title Fight sedang terbawa arus geng-nya Run For Cover Records seperti Pity Sex, Basement, Cloakroom atau Citizen yang memang sudah memadukan unsur punk dengan indie rock/shoegaze. tapi ternyata, dengan hadirnya Hyperview ini, mereka tidak sedang terbawa arus, mereka serius untuk bermain di ranah indie-crossover.
berbicara tentang albumnya sendiri, Hyperview dibuka dengan ‘Murder Your Memory‘ yang sangat dreamy dimana Jamie Rhoden setengah berbisik “murder all your memory, let it suffocate. reduce,” yang secara diam-diam mengantarkan kita pada single pertama album ini, ‘Chlorine‘. ‘Chlorine‘ sendiri diawali dengan raungan gitar twangy yang memekakkan telinga, tapi saat suara drum sudah masuk, disanalah kita bisa merasakan kelembutan dibalik raungan gitar tadi. rasanya seperti seseorang memukulmu saat sedang tertidur, tapi kemudian memelukmu agar kamu terbangun. dan memang, album ini dipenuhi oleh suara gitar yang noisy, shoegaze-y, nada-nada yang menyebalkan tapi lama-kelamaan membuatmu nyaman hingga vokal yang dibiarkan mengambang diantara layer gitar.
sebenarnya dalam track ‘Rose of Sharon‘ masih ada sedikit nafas Title Fight eraFloral Green, tapi sepertinya mereka benar-benar ingin membuat sesuatu yang baru, sehingga hasilnya adalah sebuah track punk bertempo sedang, gitar berdistorsi basah yang knob pedal chorus-nya diputar sedikit ke ara maksimal, dan vokal Rhoden yang dengan sedikit berteriak menyanyikan lirik tentang bunga mawar. “stood in one place/ restrained/ roses, like me/ need rain,” teriak Rhoden.
bagi saya, perubahan arah musikal Title Fight ini adalah sesuatu yang positif. perubahan arah musik mereka ini adalah sebuah bentuk kebebasan mereka. lagipula, Hyperview memiliki lagu-lagu yang bagus baik dari segi musik maupun lirik. dan semarah dan sekecewa apapun fans-fans lama Title Fight yang mengkritik perubahan mereka, versi baru Title Fight ini tidak bisa diubah kembali. seperti yang tercermin dari bait lirik yang terdapat pada track penutup Hyperview, ‘New Vision‘: hard to undo/ new version vision of you.

Torres – Sprinter

Torres adalah moniker dari Mackenzie Scott. jujur saya tidak begitu mendengarkan album pertamanya. tapi, suatu hari saya menonton video Torres live di KEXP, dan saya langsung terpikat oleh penampilan dan juga musik yang dia mainkan. pada album Sprinter ini, Mackenzie menyuguhkan kita musik yang intens dan juga spiritual. dengan musik folk-rock dengan sedikit etos sunyi-bising ala band-band post rock, Mackenzie dengan penuh amarah menyanyikan lirik-lirik kelam, patah hati, depresif tapi juga instrospektif. kunci dari album ini terdapat pada lirik, kekuatan songwriting dan emosi yang dikeluarkan melalui vokal Mackenzie. bagi saya, emosi dalam album ini adalah apa yang membuat album ini bagi saya adalah salah satu album penting di tahun ini.
pada track pembuka, ‘Strange Hellos‘, Mackenzie benar-benar membuka album ini dengan awkward, “Heather, i’m sorry that your mother/ diseased in the brain/ cannot recall your name/ Heather, i dreamt that i forgave/ but that only comes in waves/ i hate you all the same.” sangat tiba-tiba dan kelam. dari departemen lirik, sebenarnya mayoritas lirik pada album ini merupakan kelanjutan dari album pertamanya, yang bercerita melalui perspektif seorang ibu yang mengirim surat untuk bayinya yang dia tinggalkan, tanpa nama. tapi, Mackenzie kali ini memilih untuk meneruskan cerita tadi lewat perspektifnya sendiri. seperti yang terdapat pada lirik track terakhir, ‘The Exchange‘ dimana Mackenzie dengan lirih bernyanyi, “mother, father, i’m underwater, and i don’t think you can pull me out of this.” lirih tersebut dia teruskan lewat lirik selanjutnya, “blew my per diem on an eighth of Blue Dream/ so i can breathe but i still can’t breathe.
salah satu track favorit saya di album ini, ‘Ferris Wheel‘, merupakan sebuah lagu tentang seseorang yang tidak pernah kita miliki. Mackenzie dengan jujur bernyanyi “do i have reason to be spared/ crying over something i never had/ you borrowed my car a couple times/ you don’t like me, you just like my ride.” dan lewat lirik itu, dia sedang bersungguh-sungguh. tapi sayang, orang yang dia cintai bahkan tak tahu kalau dia sedang bersedih. Mackenzie kemudian meneruskan nyanyiannya dengan lirih: “there’s nothing in this world i wouldn’t do/ to show you that i’ve got the sadness too…
sebenarnya, dibalik semua liriknya yang gelap, kelam, dan juga sedih, Mackenzie telah memberikan kita sebuah kesimpulan lewat track ‘New Skin‘: “if you never know the darkness, then you’re the one who fears the most.” lewat bait (dan album Sprinter) tersebut, Mackenzie mengeksplor kegelapan yang mengerubunginya dan dia berhasil mengejewantahkannya kedalam 9 lagu yang menghantui, kelam, dan sekaligus indah. Lewat kesimpulan tersebut juga kita tahu, bahwa Mackenzie bukan seorang penakut lagi.
***

You Might Also Like

0 comments

Subscribe