Warkop DKI: Kritik Sosial dan Tawa Yang Tak Pernah Usai
Wednesday, March 30, 2016
30 Maret tahun lalu saya merayakan Hari Film Nasional dengan membikin essai
panjang tentang Usmar Ismail di zine yang saya terbitkan di kampus. Tadinya
saya akan posting tulisan tersebut, tetapi karena file-nya raib entah kemana, saya malah menemukan tulisan ini kembali. Tulisan penghormatan saya terhadap
Warkop DKI yang entah saya tulis kapan. Maafkan kealpaan saya ini. Tetapi sepertinya
saya tulis tahun 2013.
Yang jelas, Warkop DKI merupakan salah satu legenda dunia lawak Indonesia
yang kredensialnya sudah tak perlu dipertanyakan lagi. Saya malas menambahkan
atau mengedit kembali tulisan ini. Jadi maafkan jika sedikit tidak jelas dan
tidak mendalam. Akhir-akhir ini aktifitas saya sedang brengsek-brengseknya
hingga pola tidur saya yang sudah kacau makin kacau saja.
***
"Lah, masa villa begini, nggak
ada kapal terbangnya" —Indro (Gantian Dong)
Prolog
Itu adalah salah satu line favorit saya dari grup lawak legendaris
Indonesia, Warkop DKI. Atau yang pada awal kemunculannya bernama Warkop
Prambors. Berbicara sedikit tentang asal muasal kehadiran grup lawak tersebut
di Indonesia, embrio Warkop DKI muncul pada tahun 1973 saat Nanu, Kasino, Rudy
Badil mengudara dalam acara Obrolan Malam
Jumatan, Obrolan di Warung Kopi yang disiarkan di Radio Prambors. Dan lalu
satu tahun kemudian, hadirlah Dono dan Indro dalam acara tersebut.
Tak lama berselang dari awal kemunculan mereka itu, guyonan mereka yang
khas dikasetkan. Ada banyak diskografi yang mereka telurkan. Lalu pada tahun
1979, film pertama mereka, Mana Tahaaan…,
muncul. Dan total, hingga 2 tahun sebelum wafatnya Kasino, tepatnya pada tahun
1995, telah ada 34 film yang mereka telurkan. Dan sekarang, Warkop DKI adalah
kolektif lawak yang tak perlu diragukan lagi kredensialnya sebagai salah satu
legenda dalam dunia lawak Indonesia.
Muncul Dari Sebuah Keadaan Politik
Yang Ruwet
Pada era dimana Warkop DKI muncul, film-film dengan adegan perempuan seksi
dan komedi slapstick memang sedang marak-maraknya. Dan film-film Warkop DKI pun
menggunakan hal-hal tersebut dalam film-nya. Tapi jangan salah, banyak juga
sentilan-sentilan mereka terhadap pemerintahan dan politik Indonesia yang
sedang bergejolak. Hanya saja, untuk dapat menemukan jokes-jokes tersebut, kita
harus jeli. Kritik sosial dan kritik terhadap pemerintah tersebut mereka
selipkan dalam dialog-dialog candaan cerdas ala mereka. Dan mungkin jika kalian
sadar, dalam kalimat “tertawalah sebelum
tertawa itu dilarang” pun adalah salah satu slogan melawan rejim orde baru
yang pada saat itu sudah mengebiri rakyat hinggal hal-hal yang paling kecil.
Wajar sebenarnya. Karena para punggawa Warkop DKI adalah orang-orang yang
intelek. Kasino pada saat itu adalah Wakil Ketua Senat Mahasiswa FIS (Sekarang
FISIP) UI dan seorang mahasiswa Ilmu Administrasi-Niaga. Dono juga merupakan
salah satu aktivis di UI dan merupakan mahasiswa Ilmu Sosiologi. Indro juga
merupakan seorang mahasiswa Ekonomi, namun bukan di UI, tetapi di Universitas
Pancasila.
Ihwal kenapa mereka direkrut Prambors juga terjadi pada Agustus 1973 saat
di Perkampungan Mahasiswa Universitas Indonesia di Cibubur, sedang berlangsung
konsolidasi mahasiswa. Mereka sedang akan menentang rencana kedatangan Perdana
Menteri Jepang, Kakuei Tanaka ke Jakarta untuk bertemu dengan Presiden
Soeharto. Di sana Kasino, Nanu, dan Rudy Badil yang paling menonjol mengatur
acara supaya ramai dan tidak menjenuhkan. Dan kemudian terjadi tawaran mengisi
acara di Prambors oleh senior mereka di UI.
Dan Januari 1974, saat Tanaka tiba di Indonesia. Demo besar-besaran terjadi.
Kasino dan Dono hadir dalam demo tersebut. Indro yang pada saat itu masih duduk
di bangku SMA pun ada ditengah-tengah demo tersebut karena rumahnya dekat
dengan UI Salemba. Peristiwa itu, akhirnya dikenal dengan ‘Malari 74’,
kependekan dari Malapetaka Lima Belas Januari 1974. Dari kejadian itu,
diperkirakan, 11 orang meninggal, 300 orang luka-luka, 775 orang ditahan,
ribuan mobil dan motor rusak serta terbakar dan penjarahan terjadi dimana-mana.
Masa-masa itu telah berlalu. Selang dari kejadian Malari 74 itu, Warkop
Prambors tetap muncul dengan lawakan-lawakan lucunya, dan tetap dengan
kritikan-kritikan mereka. Selain mengkritisi tentang anti modal asing, mereka
juga secara satir dan sarkas mengkritisi soal korupsi yang mulai merajalela di
tubuh pemerintahan. Dan juga soal kaum minoritas yang semakin ditekan. Dari
mereka, lahirlah istilah: Asnawi Karna Dipanegara. Nama yang indah, padahal
singkatan dari ASli ciNA betaWI tuKAR NAma DIPAksa NEGARA! Mereka juga mengeritik
penguasa dengan celetukan, “Indonesia
katanya negara besar tapi impor terbesarnya kok hanya jemaah haji dan TKI.”
Tak banyak orang yang berani berkelakar didepan publik dengan lawakan seperti
itu pada masa Suharto masih berkuasa.
Tapi itulah Warkop Prambors, mereka dengan cerdas bisa menyelipkan candaan
satir dan sarkas tanpa dicurigai pemerintah pada saat itu. Entah pemerintah
memang tidak mencurigai atau mereka memang hanya menganggap bahwa itu hanyalah
guyonan semata. Tapi toh, meskipun sentilannya tidak kentara dan cenderung
halus, tapi kita tahu, arahnya ke masalah yang sedang hangat juga.
Kritik-kritik cerdas tersebut hanya muncul di rekaman kaset-kaset mereka
saja. Sedangkan di film-film mereka, porsi kritik-kritik sosial mereka sedikit
berkurang dan dikemas secara benar-benar halus. Hal ini seperti dijelaskan
mereka, bahwa masyarakat (menengah kebawah) menginginkan sebuah tontonan yang
tak membuat kening mereka berkerut. Penonton menginginkan sebuah tontonan yang
segar dan dan ringan. Warkop DKI pada masa itu merupakan segelintir, atau
mungkin juga, satu-satunya kolektif lawak yang bisa mengkritik pemerintah. Hal
ini juga secara tidak langsung menjadikan kritik-kritik Warkop DKI sebagai alat
kontrol sosial dalam medium lawak.
Penggunaan nama Warkop pun merupakan pernyataan sikap mereka terhadap
demokrasi. "Kedewasaan demokrasi yang baik hanya ada di warung kopi,"
tutur Indro dalam salah satu wawancara. "Di sana, orang bebas bicara,
bebas membantah, bebas tertawa, tanpa berantem. Karena itulah nama Warung Kopi
kami pilih untuk grup ini."
The Jokes That Never Gets Old
Dan jika berbicara tentang fim-film mereka, lantas saya jadi teringat pada
alm. Nanu. Karena Nanu hanya muncul di satu film saja, yaitu di film debut
mereka yaitu Mana Tahaaan pada tahun 1979. Karena 4 tahun berselang, Nanu
meninggal akibat sakit pada jaringan ginjal. Nanu terkenal karena perannya
menjadi Poltak, seorang pemuda batak asal Siantar dalam film Mana Tahaaan.
Dari total 34 film yang mereka telurkan, salah satu film paling favorit saya adalah Gantian Dong (1985). Salah satu adegan favorit di film itu adalah saat Indro diajak pergi ke sebuah villa oleh Kasino dan Indro, saat melihat villa tersebut berkomentar, “Lah, masa villa begini, nggak ada kapal terbangnya.” Kalimat yang dilontarkan Indro itu membikin saya berpikir untuk sejenak lantas sadar: teu nyambung, anjing! Tapi anehnya saya tetap tertawa dengan celotehan tak jelas tersebut.
Dan juga jangan lupakan dimana Indro pura-pura mati didalam sebuah peti
mati saat ketakutan karena dikejar Toni, pacar Julia yang cemburuan. Saat itu,
Toni menyampaikan permintaan maafnya pada Indro.
“Saya harap kamu bisa memaafkan saya. Okay, Ndro?” Lalu Indro yang sedang
pura-pura mati itu malah menjawab, “Okay.” Dan akhirnya kebohongan Indro itupun
terbongkar. Itu adalah salah satu ending terbaik dari film-film Warkop DKI
lainnya yang juga tak kalah brengsek.
Banyak juga kalimat-kalimat legendaris yang muncul dari lawakan-lawakan
Warkop DKI. Seperti “Ah gila lu, Ndro”, “Jangkrik, bos” hingga makian
“Bajingan! Bedebah! Biadab!” yang ‘diperpanjang’ menjadi “Dasar Monyet Bau!
Kadal Bintit! Kecoak Bunting! Muka Gepeng! Babi Ngepet! Dinosaurus!
Brontosaurus! CIH!” Semua itu sepertinya masih tersimpan rapi di laci memori
para penonton Indonesia hingga saat ini.
Selain kalimat-kalimat diatas, banyak juga lagu-lagu yang sampai sekarang
masih kita ingat dan sering kita dengar. Salah satu yang sekarang masih popular
adalah Andeca Andeci. Juga Nyanyian Kode yang merupakan plesetan lirik dari
lagu Sukiyaki, dimana Dono bernyanyi layaknya Jon Travolta. Kasino memang
pandai memelesetkan lirik lagu, salah satu lainnya adalah Rock ‘n Roll Music, Beat It yang kemudian diplesetkan menjadi
Cepirit.
Epilog
Kita harus banyak menghaturkan terimakasih pada Warkop DKI. Karena setelah
kemunculan mereka banyak juga muncul grup-grup lawak lainnya. Tapi tanpa
menghormati rasa hormat, kebanyakan dari grup-grup yang muncul paska-Warkop DKI
hanyalah mengkopi gaya lawakan Warkop DKI. Apalagi (lagi-lagi maaf), grup-grup
lawak sekarang terkesan cheesy bagi saya.
Belum ada grup lawak yang bisa tampil
selucu Warkop DKI. Belum ada yang bisa menggantikan sosok Dono, Kasino dan juga
Indro di dunia lawak Indonesia. Mereka adalah sebuah produk pelawak intelek
yang tak hanya membuat kita tertawa, tetapi juga terkadang membuat kita sadar
akan banyak hal. Salah satunya soal kondisi sosial Indonesia, yang bagi saya
hingga sekarang masih relevan. Hingga saat ini, candaan mereka tak pernah surut
dari jaman dan tak pernah sepi dari tawa sesiapapun yang menonton meskipun mungkin
telah mereka tonton untuk yang kesekian ratus kalinya. Karena dimana ada Warkop
DKI, disana ada tawa.
Tertawalah sebelum tertawa itu
dilarang!
1 comments
Informasi dan Referensi seputar Warkop DKI hanya di:
ReplyDeleteWebsite Resmi Warkop DKI - www.warkopdki.org