Pic by Kevin Meredith. |
London. Kota yang sangat sibuk sekali. Jarang sekali sebenarnya aku menginjakan kaki di kota ini. Kecuali jika aku baru saja pulang dari Indonesia dan pesawat yang aku tumpangi mendarat di Heathrow Airport seperti saat ini. Dari Heathrow, aku langsung mencari taksi dan pergi ke London Victoria untuk segera mencari kereta ke Brighton, tempat aku sekarang tinggal. Perjalanan dengan kereta yang memakan waktu kira-kira satu jam itu biasanya aku habiskan dengan menyalakan iPod, memutar lagu dari Trembling Blue Star lalu tidur karena selama di pesawat aku selalu susah tidur.
Sesampainya di Brighton Station, aku langsung mencari Stu, teman satu flatku yang sengaja kusuruh menjemput karena barang bawaanku lumayan banyak.
“How’s your holiday, mate?” Tanya Stu saat akhirnya aku menemukan dia sedang merokok di pinggir mobil Volkswagen-nya. Tapi air mukanya menjadi terkejut saat melihat Nicole berjalan di belakangku. “Nicole? Kamu habis darimana? Apakah kalian datang dari London bersama-sama?”
“Menyenangkan! Akhirnya aku bertemu keluarga dan teman-temanku setelah hampir 2 tahun tak bertemu. Dan ya, tadi aku tak sengaja bertemu Nicole di London Voctoria, akhirnya kita naik kereta bareng. Bagaimana Yunani?”
“Ah begitu ya. Yunani menyenangkan, kamu harus liburan kesana sekali-sekali.”
“Ya, sepertinya liburan nanti aku akan kesana. Anyway, ayo kita pergi. Aku ingin segera istirahat,” ucapku sambil memasukan koper punyaku dan punya Nicole kedalam bagasi mobil.
Tak lama setelah itu, kita pulang menuju flatku di St. Luke’s.
**
Flatku di St. Luke’s itu sudah aku tinggali selama hampir tiga tahun dari semenjak aku memulai kuliahku di University of Sussex. Tadinya aku tak akan memilih flat di St. Luke’s itu, karena ke kampusku yang letaknya di Falmer berjarak kira-kira 6 KM. Tapi karena di dekat kampusku tidak ada flat yang cocok dan harganya lumayan mahal, maka aku lebih memilih meninggali flat di St. Luke’s dan bepergian ke kampus menggunakan bus. Dan selain itu, aku menempati kamar di flat itu karena direkomendasikan oleh teman ayahku yang bekerja di KBRI London. Anaknya baru lulus di University of Sussex saat aku baru masuk.
Dan di flat inilah pertama kali aku bertemu Stu, dia sendiri kuliah di University of Brighton. Stu berasal dari Liverpool. Dan itulah yang membuat kita menjadi teman dekat, karena kita sama-sama supporter Liverpool FC. Terkadang tiap weekend jika sedang beruntung mendapatkan harga tiket pesawat yang murah, kita terbang ke Liverpool untuk datang ke Anfield menyaksikan match Liverpool. Atau jika Liverpool FC sedang bermain away ke kota-kota di dekat Brighton seperti Southampton atau ketika away melawan club-club di London.
Selain karena sepakbola, musik juga membuat aku dan Stu menjadi dekat. Kita sama-sama menyukai musik Indie Pop dan sejenisnya. Kita sering menghabiskan weekend menyaksikan band-band indie Brighton yang bermain di The Albert atau Sticky Mike’s. Dan disinilah awal pertemuan kita dengan Nicole.
Suatu malam saat kita sedang menyaksikan The Soft Walls di The Albert, Jessica, seorang temanku di kampus menghampiriku. Jessica membawa seorang temannya, Nicole.
“Dean, kamu disini juga ternyata,“ sapa Jessica sambil setelahnya aku kenalkan dengan Stu. Dan Jessica pun mengenalkan Nicole padaku dan Stu. “kenalkan, ini temanku, Nicole. Dia baru saja pindah kesini dari Bristol. Please be nice to her,” kata Jessica sambil aku dan Stu berjabat tangan dengan Nicole.
Stu berbisik kepadaku untuk berkata bahwa Nicole sangat cantik. Ya, aku pun setuju dengan Stu.
Dan kita pun pada akhirnya menyaksikan acara sampai beres bersama-sama sambil menghabiskan entah berapa botol beer dan berapa bungkus rokok. Dan karena Jessica dan Nicole datang menggunakan taksi, maka Stu dan aku mengajaknya untuk pulang bareng. Di mobil, terlihat Stu mulai mendekati Nicole. Dari mulai mengeluarkan joke-joke andalannya untuk membuat Nicole tertawa sampai melakukan gestur-gestur yang membuat Nicole tersenyum.
Tapi ternyata Nicole tidak tertarik pada Stu. Malam hari setelah aku sampai di flat, Jessica menghubungiku dan berkata bahwa Nicole suka padaku dan Jessica memintaku untuk mengajak Nicole berkeliling Brighton esok hari.
Keesokan harinya sepulang dari Kampus, tanpa Stu tahu, aku datang ke Camden Terrace menuju rumah Nicole setelah sebelumnya kita janjian terlebih dahulu.
“Hai Nicole. Ternyata rumahmu disini ya. Sering aku lewati kalau mau pergi ke St. Nicholas hehe,” ucapku basa-basi.
“Haha. Oh ya, St. Nicholas. Aku baru diberi tahu Jessica kalau disana tamannya sejuk.”
“Mau kesana?” Ajakku.
“Ayo!”
Nicole terlihat manis. Dengan cuaca hangat di bulan Agustus ini Nicole terlihat cocok dengan menggunakan kaos motif garis-garis, rok pendek berwarna abu-abu dan legging berwarna hitam. Rambutnya yang hitam sebahu terlihat berkilau dibawah matahari sore itu. Kita memilih untuk berjalan kaki sambil menikmati suasana musim panas. Kita berjalan menuju Centurion Road dan melewati jalan-jalan kecil menuju St. Nicholas Road dan akhirnya sampai di St. Nicholas Rest Garden.
Disana kita duduk di sebuah kursi.
“Tidak apa-apa jika aku merokok?” Tanyaku, takut Nicole punya masalah dengan asap rokok.
“Tidak, kok. Aku juga perokok,” jawabnya sambil tersenyum.
Saat aku merokok, Nicole terlihat asyik memperhatikan suasana taman. Aku perhatikan dia yang terlihat manis. Dan aku pikir aku menyukainya.
“Selama ini aku selalu penasaran dengan Indonesia,” tanyanya, memecah keheningan.
“Kamu harus pergi ke Indonesia sekali-kali, banyak tempat menarik disana.”
“Ya, kakak sepupuku baru saja pulang dari Bali dan Bandung bulan kemarin. Katanya tempatnya menarik.”
“Memang. Dan kebetulan aku di Indonesia tinggal di Bandung. Jadi aku sangat setuju jika kakak sepupumu menyebut Bandung adalah kota yang menarik, “ aku tertawa. “Dan ngomong-ngomong, aku jadi rindu Indonesia. Aku belum pulang kesana sejak 2 tahun lalu.”
“Pasti karena jadwal kuliahmu yang padat ya?”
“Ya. Dan tiket pesawat yang mahal hahaha.”
Nicole tertawa.
“Bolehkah aku ikut jika kamu pulang ke Indonesia? Aku ingin pergi liburan kesana. Katanya makanan disana enak-enak,” tanyanya sambil tetap melihat lurus kedepan.
“Tentu saja! Nanti aku ajak kamu ke tempat-tempat dengan masakan enak disana,” jawabku antusias.
“Ngomong-ngomong, di Brighton pun ada restoran khas Indonesia loh,”
“Ah iya? Dimana? Ajak aku kesana sekarang! Kebetulan aku lapar,” rajuknya.
“Baiklah.”
Akhirnya kita meninggalkan St. Nicholas dan menuju Warung Tujuh di 7 Pool Valleys, The Lanes, menggunakan taksi. Warung Tujuh adalah tempat favoritku karena disana merupakan restoran dengan makanan-makanan khas Indonesia. Sesampainya di Warung Tujuh, kita langsung menempati meja di lantai dua. Aku memesan Ayam Balado sedangkan Nicole, setelah aku rekomendasikan, memesan Iga Bakar. Nicole terlihat sangat suka dengan apa yang dia makan.
“Enak?” Tanyaku.
“Enak! This place is a hidden gem!” Serunya.
“Ya, di London pun banyak restoran Indonesia, tapi menurutku, disini adalah yang paling enak dan harganya terhitung murah. Tidak salah memang aku memilih kuliah di Brighton” jawabku sambil tertawa.
“Aku suka bagaimana caramu tertawa, Dean,” ucap Nicole tiba-tiba membuatku hampir tersedak ayam yang sedang aku makan.
“Ya, that’s one of my many admirable qualities. But thank you, anyway. I love the way you smile, too,” ucapku. Entahlah, kata-kata itu tiba-tiba keluar dari mulutku.
“Hahaha. Thanks,” wajah Nicole terlihat memerah dan dia terlihat tersipu malu.
Kita melanjutkan makan sampai habis. Sepulang dari Warung Tujuh, kita berjalan kaki menuju Brighton Pier untuk menikmati suasana malam hari. Nicole secara tak diduga menggandeng tanganku sambil berjalan.
Aku baru ingat, bahwa ini memang kebiasaan orang Inggris. Dimana dalam beberapa kasus, mereka bisa sangat dekat hanya dalam waktu beberapa jam saja. Aku tersenyum dalam hati.
“I think I’m started to love Brighton,” ucap Nicole sambil melihat deburan ombak. “Banyak tempat menarik disini.”
“Ya memang. Dulu aku sempat diolok temanku saat sedang ada acara di KBRI London, dia bilang Brighton itu membosankan. Tapi dia salah besar. Brighton is full of joy.”
“Ya, second that. Dan terima kasih karena telah mengajakku jalan-jalan hari ini. Aku senang sekali,” ucap Nicole sambil melihat ke arahku. Aku pun refleks langsung melihat kea rah Nicole. Dan secara tiba-tiba, Nicole mencium pipiku sambil kemudian menundukkan kepalanya. Dia terlihat malu. Begitupun aku.
**
Minggu demi minggu berlalu. Aku makin sering jalan dengan Nicole, tanpa Stu tahu. Dan karena Stu tidak tahu bahwa aku mulai dekat dengan Nicole, dia tetap berusaha untuk mendekati Nicole. Dia bilang padaku bahwa dia sangat menyukainya. Terkadang aku merasa tak enak pada Stu, tapi aku tak tahu lagi apa yang harus aku lakukan.
Hingga pada suatu malam, saat aku sedang mencari CD di Resident Record di Kensington Gardens, Nicole menghubungiku dan minta ditemani membeli buku di Colin Page Antiquarian Books di daerah Duke Street. Nicole menghampiriku di Kensington dan darisana kita berjalan kaki menuju Duke St. Disana Nicole membeli beberapa buku dan majalah. Setelah itu, karena sudah terlalu malam, aku mengantarkan Nicole menuju rumahnya. Di depan rumahnya, Nicole tiba-tiba menatapku dengan tatapan yang manis.
“It’s been a months since the first time I met you, isn’t it?” Ucap Nicole.
“Ya, kurang lebih sudah dua bulan.”
“And you know, I still can’t forget your first smile that night at The Albert,” Nicole menutup wajahnya dengan kedua tangannya sebelum lanjut berbicara, “sepertinya aku menyukaimu, Dean.”
Aku diam mematung, terkejut sekaligus senang mendengar kata-kata Nicole itu.
“You know what, I like you from the first time we met, Nicole. I can’t stop thinking of you since that night,” jawabku sambil mencoba memegang tangan Nicole.
Nicole dan aku tersenyum malu. Dan setelah saling menatap satu sama lain selama beberapa detik, entah siapa yang memulai, kita berciuman. Tangan Nicole melingkar di leherku dan tanganku di pinggangnya. Dan sejak malam itu, Nicole telah menjadi kekasihku.
**
“Aku sepertinya akan ke Indonesia selama beberapa minggu,” Ucapku pada Nicole. Nicole sedang duduk disampingku sambil menonton TV, club kesayangannya, Leeds United sedang bermain.
“Kapan?” Jawabnya sambil melihat kearahku.
“Sepertinya minggu depan. Aku baru mendapatkan info sedang ada tiket promo. Kamu mau ikut?” Ajakku.
“Ayo! Kamu tahu sendiri aku ingin pergi ke Indonesia. Selain itu, aku ingin bertemu dengan orang tuamu, Sayang.”
“Tapi angan bilang-bilang Stu kalau kamu ikut ke Indonesia, ya,” aku tertawa sambil kemudian memeluk Nicole.