I.
Saya masih ingat betul, mungkin seminggu lagi kalau kepala ini tak salah mengingat, saya duduk sendiri di Arboretum Unpad pada sebuah sore yang langitnya sedang terasa sendu. Warnanya kelabu, mungkin hujan akan turun. Entahlah, cuaca akhir-akhir ini sedang tak menentu. Harusnya bulan Juli ini sudah masuk musim kemarau, tapi hujan tetap saja turun tanpa diminta.
Dan sore itu, saya duduk sendiri sambil membaca lagi buku Di Tepian Jalur Gaza karangan Maryam Jamilah. Seorang wanita Amerika keturunan Yahudi yang nama aslinya Margareth Marcus ini merupakan pengidentifikasian emosionalnya terhadap Ahmad Khalil sang tokoh utama dalam buku ini yang demikian intens--sehingga ia menjadi seorang muslim. Saya tak akan bercerita tentang pengalaman saya membaca buku ini pada tulisan ini, karena bukan itu tujuan saya menulis. Saya hanya teringat saja bahwa pada sore itu saya sedang membaca buku ini.
Yang jelas, waktu itu hari sudah mulai gelap. Saya sedang bosan dan sedang merasakan kesepian yang betul-betul menyiksa. Beberapa hari belakangan saya lebih banyak menghabiskan hari untuk diam di kamar menyelesaikan beberapa pekerjaan desain dan tulisan yang belum terselesaikan. Kawan-kawan saya sedang sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Dan saya, lantas menarik tuas gas motor matic saya lebih atas, menuju Kiarapayung, menuju sebuah tempat favorit saya untuk merenung. Perihal hari sudah mulai gelap dan mitos-mitos mistis tentang Kiarapayung, saya tak peduli.
II.
Jatinangor sekarang ini menyebalkan. Jika pada medio 2013-2014 saya bisa dengan mudah mendapatkan bir dingin di minimarket-minimarket yang banyak berjejer di sepanjang jalan Jatinangor, kali ini sudah tak ada lagi. Yang kemudian memaksa saya hanya menghabiskan sore itu dengan sebotol milk tea saja. Sekarang yang tertanggal hanyalah kenangan saja. Salah satunya adalah ketika saya menjadi saksi bir pertama seorang kawan baik saya, Iksal, di sebuah minimarket yang terdapat di seberang Kampus Ikopin. Hari itu Iksal akhirnya telah menjadi pria seutuhnya: merasakan pahitnya Bintang botol kecil bertualang dari mulut-kerongkongan-hingga lambung. Dan hari ini, Iksal telah menjadi seorang peminum ulung yang meskipun pada alkohol selain bir pertamanya, saya terpingkal menyaksikan muntahan tolakan pertamanya di sebuah selokan di Duren Sawit, dan juga, tangisan berharap sober pertamanya di mobil sepanjang pulang dari Jakarta menuju Jatinangor.
Ah, sial! Lagi-lagi kepala saya malah terjebak pada labirin kenangan yang berfermentasi di kepala saya ini! Tapi untungnya saya masih hafal rute jalan keluarnya. Tapi tak apa, sepertinya saya ingin bermain-main di labirin kenangan saya barang sejenak. Toh, ini menyenangkan. Kemudian saya ingat, kenangan alkohol pertama saya selain bir. Waktu itu tahun 2011, di kampus saya yang berlokasi di Cimahi, saya sedang berkumpul bersama kawan-kawan baru di kampus saya. Mereka sedang melakukan ritus brengsek yang kemudian menjadi gerbang saya terhadap alkohol. Saya masih ingat betul bagaimana rasa aneh cairan hitam pekat bernama Arak menebas kerongkongan saya dengan hangatnya. Ada suatu sensasi aneh yang melenakan. Bagaimana tubuh terasa sedikit lebih ringan dan kepala terasa lebih mudah untuk mengeluarkan isinya. Malam itu saya, entah kenapa, bisa tanpa gagap berbicara perihal hubungan antara Habermas dengan tindakan gegabah kawan-kawan saya yang berdemo melawan kebobrokan rejim Presiden BEM saya pada waktu itu yang memang, apa yang dia lakukan sangat patut untuk dilawan. Tapi cara kawan-kawan saya itu salah. Saya bisa dengan berani berbicara seperti itu dihadapan beberapa senior penggagas aksi itu karena: pertama, saya sedang mabuk; kedua, saya memang benar. Keesokan harinya, mereka merubah metode aksi mereka. Dan mereka berhasil: satu minggu kemudian, Presiden BEM itu diturunkan secara tidak terhormat. Dan itu adalah hasil dari alkohol pertama saya.
Dua tahun kemudian saya masih--meskipun tidak sering--melakukan ritus menyembah botol berisi cairan hitam pekat yang baunya masih saya benci itu. Tapi untungnya, saya tidak pernah sampai pada titik dimana saya tak sadarkan diri seperti yang biasa terjadi pada kawan-kawan saya. Sepertinya lambung dan otak saya bisa menahan asupan racun tersebut sehingga saya masih bisa berpikir secara jernih meskipun terkadang jalan saya agak sempoyongan. Hingga pada 2014, saya tersadar bahwa semua ini tak ada artinya. Saya melakukan sebuah kontemplasi yang menyadarkan bahwa alkohol itu tak ada gunanya bagi diri saya selain sensasi menyenangkan dimana otak saya bisa lebih berguna. Saya mengurangi kebiasaan minum saya secara masif. Bahkan bisa dibilang saya menjadi tak pernah lagi menyentuh dan meminumnya terkecuali dalam momen-momen yang bagi saya terasa 'spesial' dan butuh asupan racun melenakan tersebut. Dan hingga hari ini, saya sudah jarang sekali menenggak alkohol. Mungkin hanya satu-dua kali saja. Itupun dalam kadar yang masih bersahabat.
III.
Tentang kenapa saya jadi bernostalgia dan menulis tentang hubungan intim saya dengan alkohol, adalah ketika sore ini, disaat saya sedang duduk sendiri di Arboretum, dimana saya sedang membutuhkan kepahitan alkohol merobek kerongkongan saya, saya tersadar: bahwa jika tak ada bir untuk diminum, tenggak saja kesepianmu sendiri.