Kalian Saya Maafkan
Thursday, July 28, 2016
(Tulisan ini jangan diambil hati, anggap saja ini adalah curahan hati seorang bocah naif yang tersesat dalam secuil 'kepercayaan' disaat dia mengaku memiliki trust issue. Dan jika ada yang membaca ini lantas tersadarkan, saya sudah melapangkan dada dengan berkata 'saya memaafkan kalian.')
Terkadang saya menyadari satu
hal, bahwa perihal pertemanan terkadang lebih pelik dan kompleks dari perihal
dikotomi kiri-kanan atau membaca literatur Hegelian. (Sebenarnya saya akan
menulis ‘persahabatan’ tapi saya terlampau geli mendengarnya. Dan lagipula, hal
tersebut adalah mengapa saya menulis ini.) Beberapa kali saya terjebak dalam mempertanyakan
adagium usang dan penuh tai banteng ‘sahabat adalah mereka yang selalu ada saat
kita membutuhkan’. Saya tak akan menulis alasan mengapa saya mempertanyakan itu
karena saya malas jika mengingatnya kembali dan merasakan kenaifan yang lugu dalam
diri saya.
Seringkali saya merasa bahwa
terkadang saya terlalu mudah untuk menjawab ‘iya’ terhadap permintaan tolong
orang lain. Meskipun saya merasa bangga, karena itu artinya saya menaikan
tingkat kesempatan saya untuk menjadi calon ahli surga—itupun jika surga itu
ada. Tapi, yang jadi permasalahannya adalah beberapa dari mereka yang dengan
bangga saya sebut ‘kawan’ terlampau arogan dan egois dengan selalu menghilang
setiap kali saya membutuhkan mereka. Disitulah momen dimana saya merasa bahwa
saya terlalu naif dan terlalu mendewakan pertemanan.
Di suatu hujan yang cukup
berhasil membikin celana dalam saya kebasahan dan penis saya menciut akibat
suhu dingin, motor saya mogok—habis bensin. Saat itu saya baru saja
mengantarkan sebuah barang yang akan kawan saya pinjam. Saya baru saja
mengantarkannya ke sebuah kedai kopi dimana kawan-kawan saya sedang berkumpul. Karena
beberapa alasan saya memilih untuk pulang duluan. Dan setelah itu lah, baru
sekitar sepuluh menit saya mengedarai motor Honda Beat hijau di sepanjang jalan
dari Jatinangor menuju Tanjungsari, motor saya mendadak berhenti. Sudah barang
tentu saya menghubungi beberapa kawan dengan mengirim pesan ‘bro punten lah
pangnyetepkeun motor urang’. Hujan sudah berhenti sebenarnya sejak lima menit
sebelumnya. Dan demi lubang dubur Lenin, tak ada satupun dari mereka yang
membalas. Harapan saya sedikit naik saat sebuah aplikasi messenger saya
berbunyi. Dan hanya kekesalan yang saya dapatkan saat beberapa dari mereka
membalas dengan berbagai alasan tak masuk akal. Dan sialnya, mereka adalah
kawan-kawan dekat saya yang sudah saya percaya sejak, entahlah, mungkin 7-8
tahun lalu.
Akhirnya, dengan muka yang basah
akibat rintik hujan yang mulai turun lagi, saya mendorong motor saya menuju
rumah yang jaraknya kira-kira 2-3 kilometer. Anjing betul! Dan dengan kekesalan
yang sudah hampir menyerupai detik-detik sebelum Gunung Krakatau meletus, saya
mencoba untuk tetap tenang sambil berpikir, bahwa mulai saat itu juga, saya
akan menjadi orang yang realistis saja, sebuah mata untuk sebuah mata, sebuah
pertolongan untuk sebuah pertolongan. Skrotum kambing dengan segala ayat-ayat
suci tentang pertemanan, saya akan lebih selektif lagi dalam memilih orang yang
akan saya beri bantuan.
0 comments