Palo Alto: Bukan Film Remaja Biasa

Sunday, August 24, 2014

palo-alto.22207




“you know, like when you get a new pack, you always flip one over and save it for last. and then when you get to it, you make a wish.”


Nukilan percakapan antara Teddy dan April di film Palo Alto ini sudah sering saya dengar sebelumnya. Tapi bagian dimana harus mengucapkan permintaan sebelum merokok rokok yang dibalikkan itu baru saya dengar. Entahlah, saya sebenarnya tidak begitu percaya dengan semacam ‘wah ada bintang jatuh, go make a wish’ atau semacamnya. Tapi lewat film ini, seperti menggurui saya bahwa harapan itu selalu ada. Bukan dari rokok yang dibalikkan atau dari bintang jatuh tentunya, tapi dari dalam diri kita sendiri.

Palo Alto adalah film pertama Gia Coppola. Anggota termuda dari klan Coppola dan ya, dia adalah keponakan dari Sofia Coppola (Lost In Translation, Where The Wild Things Are). Film ini diangkat dari buku kumpulan cerpen milik James Franco yang juga bermain di film ini sebagai Mr. B, pelatih sepak bola April.

Film ini diawali dengan adegan Teddy dan Fred yang sedang ‘high’ didalam mobil, bercakap tentang reinkarnasi dan kemudian Fred tanpa sebab menabrakan mobilnya ke pembatas didepannya. Film ini banyak memperlihatkan realita remaja urban di Amerika sana. Dimana anak-anak, mungkin umurnya beberapa tahun lebih muda dari saya, yang telah terbiasa ‘get stoned’. Banyak sekali adegan membakar ganja, mabuk, dsb dst dkk dll. Dan itu memang realitanya. Film ini sebenarnya lebih mengedepankan mood dibanding pesan. Gia Coppola membiarkan alur film ini berjalan sebagaimana nyatanya alih alih memberikan asumsi tentang kekosongan budaya yang muncul di kehidupan anak-anak remaja tersebut. Saya suka bagaimana Gia memberikan efek dreamy pada film ini. Kamera yang merekam suasana kota yang kosong pada malam hari, lampu-lampu kota, matahari terbenam hingga taman bermain yang kosong. 

Berbicara kembali tentang karakter pemain di Palo Alto, Teddy, yang menjadi fokus utama film ini, sebenarnya adalah seorang anak yang baik. Dia seorang pelukis. Ah, sebtuan pelukis itu terlalu formal dan terkesan uncool bagi saya. Baiklah, seniman. Dia adalah seorang seniman. Dan dia menyukai April (Emma Roberts) yang merupakan seorang pesepakbola perempuan di sekolahnya. April, adalah seorang perempuan pemalu, sensitif dan terkesan serius. April sebenarnya menyukai Teddy juga. Tapi dia malah tergoda dengan pelatih sepakbolanya, Mr. B, yang juga menyukai April. Karakter yang menarik sebenarnya adalah Emily (Zoe Levin), seorang perempuan cantik tapi tak punya teman. Emily memberikan ‘service’ (service disini adalah kata yang lebih lembut dari blow job) kepada banyak laki-laki teman sekelasnya. Namun pada akhirnya Emily jatuh cinta pada Fred. Dan Fred, dia adalah seorang anak nakal yang tak mendapat perhatian dari orang tuanya yang juga seorang junkie. Dia punya sedikit masalah dengan kepribadiannya, dan bisa dibilang dia punya masalah bipolar. 




Film ini terkesan kelam dan manis. Kelam karena realita yang ditampilkan (yang mana tak jauh berbeda dengan realita remaja disini yang sebagian telah kehilangan akar budaya dalam kesehariannya), dan manis karena roman-roman yang meskipun tidak diperlihatkan secara gamblang, namun tetap terkesan romantis. Seperti yang diperlihatkan Teddy terhadap April. Mereka sebenarnya saling mencintai namun keduanya adalah orang yang pemalu dan tidak tahu bagaimana caranya untuk menyampaikan perasaan terdalam mereka itu. Hingga terjadi hal-hal kecil namun memberikan harapan bagi mereka berdua.

Berbicara tentang harapan yang saya tulis diatas. Harapan disini adalah harapan untuk menjadi benar. Karena semua karakter yang ditampilkan di film ini mempunyai kesalahannya masing-masing. Dan dengan cercahan sinar harapan yang muncul perlahan di dasar kedalaman hatinya (ceilah bahasanya), mereka secara perlahan bisa keluar dari kesalahan itu dan menyadari bahwa yang mereka lakukan selama itu adalah sebuah kesalahan. 

Kredit juga perlu disematkan untuk soundtrack film ini yang terasa pas dengan mood film ini (ada track Ode to Viceroy milik Mac DeMarco di film ini). Overall, Palo Alto adalah film yang bagus. Gia Copolla berhasil melaksanakan debutnya dengan fantastis. Dan Palo Alto berbeda dari film-film tentang remaja kebanyakan yang memperlihatkan keputusasaan, alienasi hingga nihilisme. Palo Alto memberikan kita harapan, memberitahu bahwa ada hal-hal manis yang tak pernah kita sadari, dan mengajarkan kita untuk berusaha jujur terhadap diri sendiri.


***

You Might Also Like

0 comments

Subscribe