Falling In Love At A Coffee Shop

Friday, August 29, 2014


Artwork by Lynne Chapman
Artwork by Lynne Chapman



Seorang pemuda tergopoh-gopoh mengendarai sepedanya.




Pagi itu, Gary bangun kesiangan akibat malam harinya dia mendatangi sebuah farewell party Johansson, teman satu flat-nya yang telah lulus dan akan pulang kembali ke negara asalnya, Denmark. Dia pulang ke kamarnya dengan kondisi setengah mabuk akibat beberapa gelas liquor yang dipaksa masuk ke tenggorokannya. Dasar viking pemabuk! Batinnya saat melihat banyaknya minuman yang disediakan. 
Gary pulang ke kamarnya pukul 2 kurang, padahal jam 8 pagi dia ada exam mid-semester di kampusnya. Gary adalah mahasiswa S-1 Politics and Philosophydi University of Sheffield asal Bandung. Ayahnya adalah seorang pegawai KBRI London dan meminta Gary untuk kuliah di Inggris setelah lulus SMA. Ayahnya menyarankan Gary untuk kuliah di London atau Manchester agar dekat, namun entah kenapa Gary lebih memilih Sheffield. 
Dan pagi itu, Gary baru terbangun sekitar jam 7 lebih seperempat. Biasanya, jika berangkat ke kampus pada waktu-waktu ‘normal’ tanpa ada adegan bangun kesiangan, Gary menggunakan bis dari halte di Fulwood Road, turun di perempatan Whitham Road dan Northumberland Road lalu berjalan kaki menuju kampusnya yang tak jauh dari perempatan tersebut di Northumberland Road. 
Namun pagi ini, daripada lama menunggu bus, Gary memilih menaiki sepeda hasil pinjamnya dari Takami, teman satu flatnya asal Jepang. Jika menggunakan sepeda, akan mempersingkat waktu perjalanan dari daerah Ranmoor, tempat flatnya berada, menuju Crookesmoor, tempat bangunan kampusnya berada. Meskipun dalam kasus Gary ini, hanya keajaiban Tuhan lah yang bisa menyelamatkannya dari kesiangan dan dapat dipastikan, jika terlambat satu detik pun, Mr. Daniel tidak akan membukakan pintu kelas. 
Maka dengan semangat menggebu layaknya pembalap sepeda yang memperebutkan medali emas di Olimpiade, Gary mengayuh sepedanya at top speed. Mungkin suatu saat Gary harus megikuti Tour de France. Dan dengan kegigihannya mengayuh sepeda pinjaman itu, Gary berhasil masuk kelas dengan keringat bercucuran tepat beberapa detik sebelum Mr. Daniel menutup pintu. 
Fyuuh! Ga sia-sia dulu di Indonesia sering naik sepeda. Ternyata stamina gue masih kuat meskipun cuaca disini mirip didalem kulkas. Ujar Gary dalam hati.


***

Nindia sedang mencari kopi pagi itu. Dia mendatangi Remo’s, sebuah cafe kecil di Fulwood Road. Remo’s adalah cafe favorit Nindia semenjak dia pindah ke Sheffield. Selain karena kopinya enak, harganya juga pas untuk ukuran mahasiswa asal Indonesia seperti Nindia.
Dan di pagi itu, setelah memesan satu cup Capuccino Latte, Nindia berjalan keluar cafe dan berjalan menuju halte bis yang akan mengangkutnya ke Conduit Road, tempat bangunan kampusnya berada. Nindia bisa kuliah di University of Sheffield karena dia mendapat beasiswa untuk berkuliah di Inggris. 
Saat sedang duduk menunggu bis di sebuah bangku panjang, Nindia dikagetkan dengan seorang pengendara sepeda yang ngebut didepannya. Membuat kopi yang baru saja dia minum satu teguk, tumpah dan membasahi sneakers-nya. 
Dasar anglo-saxon! Umpat Nindia dalam hati. 


“Sorry!” Pengendara sepeda itu menengok kearah Nindia sambil tetap menggenjot sepedanya. 
Wah! Orang Indonesia tuh kayaknya. Pikir Nindia. Emosinya berubah menjadi rasa penasaran. Setelah beberapa bulan tinggal di Sheffield, baru kali ini dia melihat orang Indonesia. Meskipun dengan balasan menumpahkan kopinya. 
Setelah kejadian itu, Nindia makin penasaran dan berdoa agar bisa bertemu lagi dengan orang yang telah menumpahkan kopinya itu.


***

“I just met another Indonesian this morning. She’s a girl.” Ujar Gary pada Mac, teman sekelasnya, saat sedang merokok di taman dekat kampusnya.
“Cool! Finally after a couple months you found another Indonesian in this city. Is she beautiful?” Jawab Mac sambil menyesap rokoknya, Djarum Super! Rokok Djarum Super yang dibawa Gary ke Inggris ternyata menjadi favorit beberapa teman-temannya. Termasuk si Mac ini. Mahasiswa asal Birmingham yang merupakan anggota firm casuals Birmingham City FC: Zulu Warriors. Firm paling menakutkan di Inggris pada jamannya. Tiap Birmingham City ada match, Mac tidak pernah absen. Termasuk ketika sedang ada kelas. His life is only for two things: football and beer! 
“Yea, mate. She’s lovely. And i feel so bad by spilled her cup of coffee haha.” 
“That’s a sign that you should find her again and say sorry. Buy her a cup of coffee to show that you’re feeling guilty and then ask her to come to your place and… you know the rest!” Mac tertawa sambil menepuk-nepuk bahu Gary. 
“Nice one! That’s a great idea except the ‘take-her-to-my-place’ stuff. Anyway, thanks mate! I’m going.” 

Gary menaiki sepedanya lagi untuk kembali pulang menuju Ranmoor. Kali ini dia mengayuh sepedanya santai karena tak sedang terburu-buru. Kali ini dia pulang sambil matanya awas melihat sekeliling, siapa tahu bisa ketemu lagi cewek Indonesia tadi.
Sore ini Gary memilih untuk memutar menuju Crookesmoor Road dan berbelok di Lydgate Lane, masuk Trapton Crescent, menyebrangi Shore Lane dan masuk Fulwood kembali dan sampailah dia di flatnya. 
Dia rebah sejenak di kasur, menyalakan laptop dan mengecek beberapa e-mail. Setelah mandi, Gary memutuskan untuk pergi keluar mencari kopi. Akhirnya dia berjalan menuju Fulwood Road dan masuk sebuah cafe kecil favoritnya, Remo’s.


***

Malam itu, Nindia memilih untuk menyalakan laptopnya, membuka skype and video chat sama Intan, salah seorang sahabatnya yang saat ini kuliah di Unpad.

“Tan, gue tadi ketemu cowok Indonesia juga pas lagi nunggu bis. Cakep anjir!” Seru Nindia pada Intan di layar laptopnya. 
“Lo itu kuliah jauh-jauh ke kotanya A’a Alex Turner, masih aja naksirnya sama Indon!” Jawab Intan sambil terkekeh. 
“Gatau juga nih. Mungkin karena gue terbiasa naksir orang Indonesia gitu ya, jadi gue biasa aja kalo liat warga sini. Semuanya keliatan sama. Gue lebih tertarik sama orang berkulit warna, Tan.” Cerocos Nindia pada Intan. 

Setelah banyak ngobrol ini itu, Intan bilang mau offline karena di Indonesia sudah menunjukkan waktu hampir subuh. 
Karena bosan dan lapar, Nindia pergi keluar. Berjalan dari flatnya di Yarncliffe menyusuri Lawrencefield, Endcliffe Crescent dan menuju Fulwood Road.


***

Suasana Remo’s malam itu sedang tidak begitu penuh. Gary masuk dan langsung duduk di sebuah meja yang terletak di pojok dekat jendela. Dia memesan segelas espresso dan salad. Sambil menyalakan rokok, dia memindai sekeliling. Siapa tahu ada cewek yang tadi. Pikirnya.
Terdengar suara pintu cafe yang terbuka. Seorang wanita dengan wajah familiar muncul dan memperlihatkan wajah terkejut. 

Ah! itu dia perempuan Indonesia yang tadi pagi gue temuin! 
Gary berteriak-teriak dalam hati. Senang, dan bingung harus melakukan apa. Tapi alam bawah sadarnya membuatnya tersenyum ke arah perempuan itu dan perempuan itu pun berjalan ke arahnya. 

“Halo! Kamu cewek yang tadi pagi saya tumpahin kopinya ya? Indonesia juga ternyata?” Tanya Gary.
“Hahaha. Iya, aku cewek yang tadi pagi kamu tumpahin kopinya. Akhirnya ketemu orang Indonesia juga disini!” 
“Maaf ya aku udah numpahin kopi kamu. Tadi aku buru-buru ke kampus soalnya. Ga liat kanan-kiri. Sebagai gantinya, aku traktir kamu kopi deh.” 
“Ah, gapapa kok. Udah aku lupain kok kejadian itu. Tapi kalau mau nraktir, gapapa kok. Hehehe.” Perempuan cantik itu tersenyum jahil. Lumayan, ngirit!Pikirnya dalam hati. 
“Iya aku traktir ya. Aku Gary. Nama kamu siapa?” 
“Ooh, Gary ya. Nama aku Hanifa.”

***


Nindia berjalan tanpa pikiran lain selain segelas kopi dan spring onion risottofavoritnya. Dijalan, dia sempat bertemu dengan dosennya di kampus yang baru saja memarkirkan mobilnya dan membawa banyak barang bawaan dari bagasi mobilnya. Setelah berbasa-basi sebentar dan membantunya membawa barang bawaannya, dengan harapan dosen tersebut akan memberikannya nilai bagus karena telah membantunya, Nindia kembali melanjutkan perjalanannya. Namun saat dia berjalan, dia berpikir tak ada salahnya untuk mencari cafe lain selain Remo’s. Akhirnya dia berjalan terus hingga sampai di Glosspo Road dan masuk Vittles Cafe. Dan betapa terkejutnya dia sesaat setelah membuka pintu cafe.

Ya Tuhan! Itu pria yang tadi pagi menumpahkan kopiku! Akhirnya kita bertemu lagi! Apa yang harus aku lakukan?!
Ucap Nindia dalam hati. Ditengah kebingungannya, pria itu tersenyum kearah Nindia. Nindia pun membalas senyumnya dan secara otomatis berjalan kearahnya untuk berkenalan. Persetan dengan gengsi! Gue kuliah di Inggris salah satunya buat ngilangin gengsi! 

“Halo! Kamu cewek yang tadi pagi saya tumpahin kopinya ya? Indonesia juga ternyata?” Tanya pria itu.
"Hahaha. Iya, aku cewek yang tadi pagi kamu tumpahin kopinya. Akhirnya ketemu orang Indonesia juga disini!” 
“Maaf ya aku udah numpahin kopi kamu. Tadi aku buru-buru ke kampus soalnya. Ga liat kanan-kiri. Sebagai gantinya, aku traktir kamu kopi deh.” 
Ah, gapapa kok. Udah aku lupain kok kejadian itu. Tapi kalau mau nraktir, gapapa kok. Hehehe.” Nindia tersenyum jahil. Lumayan, ngirit! Pikirnya dalam hati. 
“Iya aku traktir ya. Aku Dandy. Nama kamu siapa?” 
“Ooh, Dandy ya. Nama aku Nindia.” 


***


Post-scriptum: Cerpen ini terinspirasi oleh lagu Landon Pigg – Falling In Love At A Coffee Shop.


Posted ont A Coffee Shop"

You Might Also Like

0 comments

Subscribe