Membicarakan Kebebasan dan Ironi Bersama Elliott Smith

Thursday, March 24, 2016


Siang itu saya sedang duduk-duduk santai di sebuah warung kopi di pinggiran terminal Pasir Koja. Waktu itu akhir tahun 1997, saya lupa lagi tepatnya bulan apa. Terminal Pasir Koja meskipun sudah ramai tapi tidak seramai dan sepadat hari ini. Bahkan hari ini lebih semrawut.
Saat saya sedang meminum kopi, saya menangkap sesosok pria yang terlihat familiar sekaligus asing. Dia bukan orang Indonesia. Mungkin warga Amerika. Dengan mengenakan sebuah trucker hat, kaus hitam dengan tattoo di lengan kanan yang terlihat setengahnya saja karena tertutupi lengan kausnya, bercelana jeans lusuh dan sepatu converse all star hi-top, dia terlihat kebingungan.
Saya yakin saya pernah melihatnya disuatu tempat. Atau disuatu majalah. Atau dimana saya lupa lagi. Akhirnya saya karena penasaran menghampirinya. Mencoba bertanya siapa tahu dia sedang tersesat. (Percakapan dibawah ini sebenarnya terjadi dalam Bahasa Inggris, tapi karena saya yakin kalian tidak mengerti Bahasa Inggris, maka saya artikan kedalam Bahasa Indonesia saja.)

“Hallo, Mister. Ada yang bisa saya bantu? Anda terlihat kebingungan,” tanya saya. Saat saya menatap wajahnya, saya merasakan perasaan deg-degan yang membuat darah sa—maaf, maksudnya: saat saya menatap wajahnya, saya merasa memang ada yang familiar dengan pria ini.
“Ya, saya mau pergi ke Garut. Dari sini naik bus apa ya?” Jawabnya.
“Oh, anda mau ke Garut. Dari sini naik itu saja, Mister,” jawab saya sambil menunjuk sebuah mobil elf bertuliskan ‘Eng Ing Eng’ yang sedang terparkir di pinggir jalan. “Ngomong-ngomong Mister, nama mister siapa?” Lanjut saya karena takut mati penasaran.
“Oh, saya Elliott. Nama anda sendiri siapa?”
Saya terkaget-kaget. Mungkin rasanya seperti Serda Raswad yang ditampar Jenderal Yani saat datang menjemputnya di malam G-30-S. Disitu saya langsung ingat bahwa dia adalah Elliott Smith, seorang penyanyi kesukaan saya yang baru tempo hari lalu saya lihat di sebuah majalah musik impor yang kakak saya bawa sepulangnya dari Kanada. 
“Elliot Smith?” Tanya saya sekali lagi sambil masih tak percaya.
“Iya, saya Elliot Smith. Anda tahu saya?” Jawabnya sambil memperlihatkan senyumnya yang tenang.
“Anjing! Eh, maaf-maaf. Iya saya tahu anda. Saya sering mendengar lagu anda. Album Either/Or itu sungguh brilian!”
Dia hanya tersenyum mendengar saya berkata seperti itu. Beberapa detik kemudian, adzan dzuhur berkumandang dari masjid dekat terminal.
“Ah, sudah adzan. Mari kita ke masjid dulu, Kang,” ajaknya. “Nanti kita ngobrol-ngobrol lagi.”
Saya terbengong melihatnya.
“Akang muslim?”
“Bukan. Saya Cuma mengajak akang untuk sholat, ngingetin. Saya mah nunggu diluar atuh,” ujarnya sambil tersenyum.
“Duh, Kang. Gimana yah, saya mah udah jarang sholat, Kang,” jawab saya malu-malu.
“Waduh, inget dosa siah, Kang. Kade ah.”
“Ah enya, Kang. Hehehehe.”

Akhirnya kita tidak jadi pergi ke masjid. Kita lantas duduk bersampingan. Saya di kiri, Elliot di kanan. Di kepala saya, sudah muncul banyak pertanyaan yang ingin saya tanyakan perihal Either/Or yang saya sukai itu. Tapi sepertinya dia masih lelah. Saya biarkan dulu dia memesan segelas kopi hitam.
“Kang, boleh saya wawancara?” Tanya saya.
“Oh, boleh-boleh. Mangga. Buat majalah apa Kang?”
“Ah buat zine fotokopian aja ini mah. Tapi nanti dicetaknya 15 tahun lagi lah kayaknya, Kang,” ucap saya sambil tertawa. Elliott pun terlihat tertawa. Saya yakin dia tak percaya. Padahal saya serius, saya mencetak zine-nya 19 tahun setelah saya bertemu Elliott Smith.

“Jadi gini, Kang. Bener ya akang teh bikin album Either/Or terinspirasi dari paham fisalfatnya Kierkegaard? Berarti akang termasuk penganut eksistensialisme dong?”
“Ah. Waduk itu mah. Saya kuliah di Jurusan Filsafat di Hampshire College juga gara-gara saya enggak keterima di Jurusan Karawitan. Jadi aja masuk jurusan filsafat. Kuliah bertahun-tahun juga ga ngerti. Saya mah taunya kalo Kierkegaard itu di buku Either/Or yang saya jadikan juga judul album saya, mencoba menggambarkan pergulatan batin antara menjalani hidup yang estetis dan etis. Itu aja, Kang,” jawabnya. Entah merendah atau memang serius. Saya tak bisa membedakannya.
“Ah bisa aja, Kang, haha. Tapi serius, bagi saya, ada persamaan antara Akang dan Kierkegaard, terlebih dalam konteks album dan bukunya. Bagi saya, antara keduanya sama-sama memiliki sebuah disposisi yang melankolis. Dan ini, maaf nih Kang, ya. Tapi saya baca, Akang waktu itu sedang depresi dan membaca bukunya Kierkegaard—yang juga sama-sama depresi. Mungkin itu yang membuat mendengarkan Either/Or ini seperti membaca bukunya dalam bentuk audio.”
“Hmm. Ya sepertinya begitu sih, Kang. Saya menghabiskan banyak waktu dengan mabuk dan meminum obat anti-depresan, dan juga saya baca Kierkegaard. Tapi setelah itu, meskipun itu membuat saya malah makin merasa depresi, tapi disisi lain saya malah mendapatkan rasa optimisme. Rasa optimisme untuk menjadi kreatif. Tapi tetap, saya menganggap bahwa hidup itu hanyalah sebuah lelucon kosmis dan suatu hari nanti kita akan mati.”
“Tapi lagunya tetap berbau pesimistis ya, Kang?” tanya saya sambil terkekeh.
Elliot tertawa sambil menyalakan sebatang rokok kretek yang dia beli.
“Sebenernya gini, Kang. Yang saya ambil dari Kierkegaard itu adalah, bahwa Kierkegaard mengajarkan saya bahwa sadar akan ironi itu ternyata membuat saya merasa bebas. Sama kayak Socrates. Dengan kata lain, ironi membuat negasi dari kebenaran yang objektif, tapi itu memberi kebebasan bagi kita untuk memilih. Dan kebebasan itu yang melandasi Kierkegaard dalam mengartikan hidup itu terbagi dalam tiga lensa: agama, etis dan estetis. Dan saya tertarik dengan kehidupan estetis yang Kierkegaard bahas dalam bukunya itu.”
“Nah, itu yang akang coba sampaikan di lagu “Ballad of Big Nothing” ya?”
“Ya, bener. Coba, sekarang gantian saya yang nanya. Di sebelah mana saya memasukkan pemahaman Kierkegaard-nya?”



Elliot balik menanyai saya yang sebenarnya hanya sok tahu ini. Tetapi karena takut di cap fans abal-abal, maka saya coba mengarang jawabannya saja:
“Dari mulai intro sih. Dari genjrengan gitar double-track yang diulang-ulang juga saya sudah merasa bahwa disana akang mencoba menggambarkan kekosongan yang pesimistik. Tapi kekosongan itu Akang tutupi dengan bass line yang seksi dan ketukan drum yang membikin lagu ini lebih upbeat dari lagu-lagu lainnya. Tapi meskipun lagu ini terdengar sedikit ceria, sebenarnya tidak bisa menutupi lirik berat akang yang berbau subjektifitas dan ironi. Apalagi pas akang mulai nyanyi: “You can do what you want to whenever you want to/ You can do what you want to when there’s no one to stop you.” Lirik itu membuat akang menjadi sebuah subjek yang ironik. Yang saya tangkap dari lirik itu: akang coba menyampaikan bahwa tidak ada otoritas yang mutlak selain si individu itu sendiri, dan setiap orang memiliki kebebasan untuk memilih pilihannya sendiri. Bagi saya pesan ini  menggambarkan konsep Kierkegaard tentang ironi.”
“Wah. Bener tuh Kang. Saya aja kadang enggak kepikiran sampai sana. Hahaha. Si Akang pinter nih ternyata,” ujar Elliot sambil tertawa. Mulutnya bergerak karena sedang memakan gorengan. Menyisakan minyak yang menempel di pinggiran bibirnya.
Tak lama kemudian Elliot tersadar bahwa ia harus segera berangkat ke Garut untuk menemui kekasihnya yang bekerja menjadi pelayan di sebuah restoran di Cibiuk. Percakapan yang singkat ini terasa begitu menyenangkan. Sebelum menaiki elf, Elliot memberikan saya sebuah piringan hitam album Either/Or yang sebelumnya dia tanda tangani. Entah tadi dia menyimpannya dimana. Padahal dia hanya membawa tas kecil bersablonkan logo Adidas.
Setelah itu, kita berpelukan layaknya dua sahabat yang akan berpisah lama. Dan itu memang benar. Toh, kita tak tahu kapan bisa bertemu lagi.


***


Tahun-tahun berlalu. Saat itu tahun 2003. Saya sudah bekerja menjadi seorang operator warnet di bilangan Dipati Ukur. Saat saya iseng-iseng membuka salah satu website musik, saya kaget saat saya melihat salah satu berita yang berjudul: Elliot Smith Dies at 34. Saat saya baca, ternyata dia bunuh diri dengan cara menusuk dadanya sendiri dengan sebilah pisau. 
Dan inilah ternyata, akhir dari seorang pemuja Kierkegaard yang memaknai kebebasan ala Kierkegaard tersebut dengan memilih untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Dan tak ada seorang pun yang bisa menentang pilihannya tersebut. Karena sekali lagi, seperti dalam lagu “Ballad of Big Nothing”, dia sudah mencoba untuk memberi tahu kita bahwa dia bisa melakukan apapun. Dari mulai menciptakan lagu-lagu yang indah dengan lirik yang jenius, hingga mengambil nyawanya sendiri. Toh, sebagai seorang eksistensialis, dia tak percaya tuhan. Karena jika dia percaya tuhan dan mengikuti ajarannyadalam konteks ini perihal takdirmaka dia tak lagi sepenuhnya bebas. 

You can do what you want to whenever you want to/ You can do what you want to when there’s no one to stop you.”


*tulisan ini saya bikin untuk salah satu zine yang sebentar lagi akan saya cetak.

You Might Also Like

0 comments

Subscribe