Tanpa Mereka, Hidup Saya Adalah Kekeliruan
Friday, March 25, 2016Epilog.
Tanpa mencintai musik, mungkin hidup saya akan menjadi sangat membosankan. Entah apa yang akan saya lakukan sekarang jika sejak kecil saya tidak dicekoki musik oleh orang-orang terdekat saya. Tanpa mencintai musik, mungkin saya tidak akan mengenal banyak kawan-kawan ajaib yang saya kenal melalui musik. Tanpa mencintai musik, mungkin saya tidak akan menggeluti pekerjaan yang saya lakukan saya ini: jurnalis musik. Bisa dibilang, selain keluarga, musiklah yang selama ini mengasuh, membesarkan sekaligus mendidik saya hingga menjadi saya di hari ini, yang seperti ini. Dan dalam tulisan ini saya ingin menghaturkan banyak tabik untuk musik dan orang-orang yang telah banyak membantu saya dalam menemukan banyak musik-musik menarik dan mengajarkan saya mana musik keren dan tidak keren.
15 Tahun yang Lalu.
Mundur jauh ke belakang menuju tahun 2001. Saat itu saya dan keluarga baru saja pindah ke Ciamis, sebuah kabupaten yang terkenal karena Pantai Pangandaran. Ayah saya waktu itu masih menjadi wartawan di Harian Pikiran Rakyat dan mendapatkan mutasi ke Ciamis, alhasil kami pun pindah kesana.
Ayah saya sering mengoleksi kaset, bahkan hingga hari ini. Dan orang pertama yang membantu saya untuk mulai mencintai musik adalah sosok ayah saya. Saya masih ingat, saban akhir minggu ayah saya sering mengajak saya untuk pergi menyambangi salah satu toko kaset. Tempatnya berada tepat di seberang alun-alun Ciamis. Tokonya menyatu dengan toko elektronik. Saya lupa lagi nama tempatnya, yang pasti, pemilik tokonya adalah seorang paruh baya keturunan Tionghoa yang kemudian berkawan baik dengan ayah saya. Dahulu kebiasaan saya adalah membeli kaset-kaset OST. film kartun. Dari mulai Ksatria Baja Hitam hingga Power Ranger. Pokoknya yang cover-nya bagus saja. (kebiasaan ini masih menempel pada diri saya hingga hari ini: membeli sebuah rilisan yang cover-nya bagus)
Kemudian ada satu masa dimana saya secara random membeli kaset Sebuah Kisah Klasik milik Sheila On 7. Saya masih ingat, saya kemudian secara khusyuk mendengarkan kaset itu terus menerus. Bahkan saya sampai dimarahi Ibu saya karena mendengarkan kaset tersebut saat adzan maghrib berkumandang. Entah kenapa, setelah saya mendengarkan kaset itu, saya langsung tersadarkan bahwa musik itu memang kudus. Lagu-lagu di kaset itu menjadi sebuah mazmur bagi saya yang masih bocah. Menyanyikan lagu-lagu cinta ala lirik jenius gubahan Duta. (Saya pernah menulis tentang Sheila on 7 di postingan ini.) Dan dari sanalah, saya mulai terjerumus kedalam musik.
-
Tahun-tahun berlalu. Saya kemudian pindah kembali ke Tanjungsari, sebuah kecamatan yang berdekatan dengan Jatinangor. Ayah saya kembali bertugas di Bandung, dan itu membuat akses untuk membeli kaset menjadi semakin luas. Saban akhir minggu atau akhir bulan, ayah saya sering mengajak keluarga untuk sekedar berjalan-jalan di Kota Bandung. Tempat favorit saya dan ayah saya adalah Aquarius Musik di bilangan Dago dan Disc Tarra di BSM (sekarang TSM). Disana kebiasaan saya membeli kaset tape menjadi semakin menggila. Dari mulai System of a Down (saya masih ingat yang saya beli adalah kaset Mesmerize) hingga Laruku (saya lupa lagi judul albumnya, yang pasti sampulnya berwarna putih dan kuning) saya beli. Satu kaset yang benar-benar membikin saya jatuh cinta pada waktu itu adalah album Greatest Hits-nya Blink 182. Sejak itu saya jatuh cinta dengan Blink 182 dan pop punk. Untuk album lokalnya, kemudian saya menemukan album Putih dari Netral dan Hangover Decade-nya Superman Is Dead. Bagi saya yang masih duduk di bangku kelas enam SD, mendengarkan musik pop punk adalah sesuatu yang baru. Saya secara tiba-tiba merasa macho. Meskipun saat saya memberi tahu kawan-kawan saya, mereka bilang bahwa ini musik aneh dan berisik.
Tapi ada satu momen menarik di saat saya sedang di akhir masa SD saya itu. Saya yang sudah berlangganan Majalah HAI pada saat itu, menonton sebuah acara: Dreamband. Betapa senangnya saya saat itu menonton Dreamband di Tv7. Di season pertama, yang saya ingat ada Kapten dan Kotak. Dan hal ini membikin saya ingin membikin sebuah band. Niatnya: membikin sebuah band pop punk ala Blink 182. Waktu itu, saya bisa lah main gitar meskipun baru tau kunci dasar dan tidak bisa memainkan kunci B karena menggunakan grip gantung. Tapi karena semangat sudah terlampau menggebu, niatan saya membikin band tetap jalan. Kemudian saya mengajak salah seorang kawan sekelas saya yang sering saling meminjamkan kaset dan seorang penggemar fanatik Dewa 19, Abdul Al Azis. Saya tahu Azis pandai bermain gitar. Azis menerima tawaran saya dan kemudian mengajak Ridwan Purba, seorang kawan kita juga untuk melengkapi formasi. Awalnya kita sepakat untuk beranggotakan tiga orang saja agar lebih mirip Blink 182 atau Superman Is Dead. Niatan formasi awal: Saya bermain bass, Azis bermain gitar dan Ridwan bermain drum. Keesokan harinya kita sepakat untuk menyewa studio untuk latihan.
Nama studionya DIGI, hari ini pun masih ada, tapi kualitas alatnya sangat jelek. Meskipun pada waktu itu peduli setan kita dengan kualitas alat. Pokoknya: nge-band! Saya ingat, pertama kali masuk studio musik. Saya baru pertama kali melihat instrumen gitar dan ampli. Kemudian saya mengambil bass yang aduhai beratnya itu dan mulai membetotnya. Azis sudah berdiri menenteng sebuah Stratocaster custom tanpa merk. Ridwan pun sudah duduk dibelakang drum. Jujur, saya gugup. Karena saya sadar bahwa saya tidak jago bermain alat musik dibandingkan kedua kawan saya tersebut. Saya lupa apa lagu pertama yang kita mainkan, yang pasti, kacau. Beberapa lagu kita coba dan kita semakin menjadi tidak bersemangat karena tidak seperti yang dibayangkan. Akhirnya Ridwan memiliki satu ide dimana saya coba bermain drum saja. Saya manggut-manggut saja karena sayalah yang membikin kacau. Akhirnya formasi berubah: Saya di drum, Ridwan di gitar dan Azis di bass. Dan satu hal lagi yang berubah, ternyata memainkan lagu Blink 182 terlampau susah. Akhirnya setelah berunding, kita membawakan salah satu lagu yang lumayan gampang: 'Jujur' dari Radja.
Sangat jauh memang dari Blink 182 ke Radja. Tapi apa lacur, untuk awalan kita memang harus bermain sesuatu yang simpel. Kembali ke saya yang sudah duduk di belakang drum, saya makin gugup saja. Karena ini pertama kalinya saya duduk dibelakang drum set yang saya tak tahu mana snare, mana floor, mana tom dan mana cymbal. Memegang stik drum saja baru pertama kalinya. Tapi saat Ridwan memberi komando untuk mulai bermain, saya kaget sendiri. Anjing! Saya bisa main drum! Meskipun masih belum bisa menjaga tempo, tapi tangan dan kaki saya ternyata bisa dengan luwes menggerakan stik drum. Akhirnya setelah beberapa kali memainkan lagu ‘Jujur’ tersebut, kita sudah dengan lancar bisa memainkan beberapa lagu Radja.
Minggu-minggu berlalu dengan rasa keren. Kita menamai band kita Flash. Entah kenapa kita namai Flash. Yang pasti, kita mendapat gigs pertama kita: di acara tujuh belasan di dekat rumah saya. Kita gugup sekali berhubung ini pertama kalinya bermain di luar studio. Saya lupa bagaimana jalannya penampilan kita, tetapi yang pasti kita semua bersenang-senang. Jika saya mengingat masa-masa ini, saya rasanya malu sendiri. Tetapi tanpa ini, mungkin saya tidak akan pernah berpikir untuk membikin band lagi suatu hari nanti. Dan sebagai catatan, Flash Band bubar saat kita lulus SD. Alumnus Flash Band hari ini hampir semuanya menjadi orang penting di scene. Ridwan, sekarang adalah gitaris band death metal asal Bandung, Jasad. Azis, sekarang adalah gitaris di band surf rock baru asal Jatinangor, The Panturas. Dan saya, ya begitulah...
Majalah Ripple.
Saya masih ingat betul, waktu itu tahun 2007, saya sedang duduk di kelas 2 SMP. Suatu hari saat saya pergi ke toko buku Trisera di Jatos, saya menemukan sebuah majalah baru bernama Ripple. Sebenarnya tidak baru-baru amat, saya saja yang baru tahu ada majalah itu. Cover-nya waktu itu The Brandals yang sudah pernah saya dengarkan di sebuah CD MP3 bajakan. Akhirnya saya beli majalah itu. Dan setelah membuka-buka halaman di majalah itu, saya langsung takjub dengan desain layout-nya dan tentunya isinya. Bisa dibilang, sejak majalah Ripple bersampulkan The Brandals itu hidup saya benar-benar berubah dan terselamatkan. Darisana saya jadi tahu banyak band-band ajaib. Di edisi tersebut, saya menemukan beberapa band yang hingga hari masih menjadi favorit saya. Sebut saja beberapa diantaranya adalah Sungsang Lebam Telak, Telefon Tel Aviv, Sore, Pure Saturday, Stereolab, Yo La Tengo hingga The Jesus and Mary Chain.
Entah apa yang terjadi dengan hidup saya jika pada tahun 2007 saya tidak menemukan majalah Ripple di Trisera. Mungkin hidup saya akan menjadi kekeliruan karena sebelum saya menemukan majalah tersebut, playlist di winamp saya masih dihuni oleh Ungu, 9 Ball, Rama hingga Avenged Sevenfold. Yang sepertinya agak bisa dimaklum saat itu mungkin selain band-band pop punk adalah The S.I.G.I.T atau Arctic Monkeys saja yang lagunya tak sengaja saya temukan di CD Mp3 bajakan.
Darisana, saya rajin pergi ke warnet untuk mencari lagu-lagu dari band yang saya temukan dari majalah Ripple tadi. Dan darisana, semuanya menjadi semakin meluas. Saya jadi menemukan banyak band ajaib lainnya. Dari mulai The Stone Roses, Primal Scream hingga Belle & Sebastian. Tetapi pada akhirnya, satu hal yang berubah dari hidup saya selain selera musik adalah saya yang di cap aneh oleh kawan-kawan saya karena mendengarkan musik yang aneh bagi mereka. Tapi toh, saya hanya menganggapnya sebagai pujian, kalau bukan kecemburuan mereka karena saya beberapa langkah lebih maju dari mereka. Selain majalah Ripple, majalah Suave (bertahun-tahun kemudian saya pernah berkesempatan menjadi kontributor di majalah ini) hingga Jeune adalah majalah-majalah yang merubah hidup saya. Baik dalam musik, fashion dan lain-lainnya.
-
Menginjak bangku SMA, saya menjadi semakin tercerahkan. Apalagi sejak di rumah saya memasang internet. Miliaran informasi yang terdapat di jagat maya tersebut membikin saya semakin mudah untuk menemukan band-band ajaib lainnya. Dari mulai saya jadi terjerumus ke dunia chiptune gara-gara Daily Stupidity of a Superhero yang orang-orang dibelakangnya saya kenal di facebook (waktu itu vokalis mereka adalah Yumna Kemal. So dude, i know Yumna Kemal before she got mainstream. But what’s the point of that right?). Saya juga pernah terjerumus ke dunia emo/indie rock gara-gara Goodboy Badminton. Percakapan saya dengan Mutt pada salah satu show GBB yang menjelaskan bahwa refererensi GBB itu adalah dari band-band seperti The Get Up Kids, Pavement hingga Dinosaurs Jr. Membuat saya menjadi mendengarkan band-band itu juga. Kemudian saya terjerumus pula ke dunia indie pop (bahkan hingga hari ini) saat saya secara tak sengaja menemukan Another Sunny Day saat sedang mencari lirik lagu Belle & Sebastian yang juga berjudul Another Sunny Day.
Saat SMA ini saya tak banyak memiliki kawan yang memiliki kesamaan selera musik. Beberapa diantara yang kemudian sering saya cekoki musik-musik temuan saya dan saya juga banyak mengambil referensi darinya adalah dua sahabat saya: Surya Fikri Asshidiq, yang sekarang menjadi drummer di band saya dan Iksal Rizqi Harizal, yang sering menemani saya menonton gigs-gigs pada saat SMA. Pokoknya, masa-masa SMA ini adalah masa yang bagi saya paling menyenangkan. Siapa yang tidak?
Sebuah Website Brengsek Bernama Last.fm.
Puncaknya adalah pada tahun 2010 saat saya baru saja duduk di kelas 3 SMA. Saat itu saya mendaftar di last.fm, salah satu media yang paling besar jasanya bagi saya hari ini. Pada awalnya, saya menemukan sebuah band yang menjadi band favorit saya: Beach Fossils. Saya lupa bagaimana tepatnya saya bisa menemukan Beach Fossils. Kalau tidak salah karena namanya muncul di akun salah satu profil yang saya add. Pokoknya, sejak Beach Fossils, saya makin terjerumus ke scene tersebut. Kemudian saya menemukan The Drums, Craft Spells, The Pains of Being Pure at Heart (dan tak lama lagi salah satu band saya akan mendapat kesempatan untuk berada dalam satu kompilasi yang sama dengan band ini!) hingga Wild Nothing.
Dari last.fm pun saya banyak menemukan kawan yang hingga hari ini menjadi kawan baik saya. Saya bekenalan dengan Tamie Maria, yang hari ini menjadi salah satu kawan baik saya. Pada waktu itu Tamie mengajak saya untuk ikut menulis di webzine tempat dia menulis juga, Verse Zine. Waktu itu akhir 2011, saya baru saja masuk kuliah. Akhirnya saya menerima tawarannya dan mulai menulis di Verse Zine.
Dari Verse Zine saya mulai mengenal banyak kawan-kawan baru yang tak asing bagi saya. Ternyata di Verse Zine, ada Yogi Riyanto (gitaris Sparkle Afternoon), ada Roni Smith (gitaris My Violaine Morning dan Pop at Summer), ada Irvan Nugraha Martpresia (drummer Pop at Summer yang sekarang menjadi manager JKT48) dan beberapa musisi lain yang band-nya saya dengarkan. Lewat mereka juga saya bisa berkenalan dengan orang-orang dibalik band indie pop lokal favorit saya, Astrolab. Di Verse Zine pun saya mulai diajarkan bagaimana caranya mengurus sebuah gigs di Hearing Goodness hingga Telling Sweetness, mengurus record label di Loud For Goodness Records hingga memberi saya edukasi berupa musik. Ada Roni Smith yang semakin menjerumuskan saya pada Sarah Records, ada Yogi yang memberi saya referensi musik-musik british, ada Bapak Tri Wahyu Aji yang memberi saya rekomendasi band-band shoegaze, ada Bambang Ferdian alias Pedro yang berbagi koleksi musik post-punk nya pada saya, ada Tomy Herseta yang memberikan saya banyak band-band skramz, emo hingga doom pada saya. Pokoknya, masa-masa Verse Zine yang bermarkas di Nilem, Buah Batu ini benar-benar menyenangkan. Sayang, kantor di Nilem masa kontraknya habis dan orang-orangnya pun semakin sibuk hingga akhirnya vakum pada akhir 2013.
Bagi saya, semua kawan-kawan saya di Verse Zine ini adalah mereka yang ingin saya haturkan masif terima kasih karena telah memberikan saya pencerahan dalam banyak hal. Tiga tahun bersama mereka ini membuat saya beryukur memiliki kawan-kawan dengan wawasan musik unlimited yang tak segan berbagi dengan saya yang waktu itu merupakan makhluk paling muda disana.
Selain Verse Zine, last.fm juga memberikan saya banyak kawan-kawan lainnya yang tak kalah edan selera musiknya. Semua ini terjadi setelah saya dan Pedro membikin Last.fm Gathering yang pada awalnya diniatkan untuk menjaring manusia-manusia pilihan sebagai punggawa regenerasi si Verse Zine dan agenda-agenda lain di dalamnya. Betapa senangnya saya saat ternyata antusiasme orang-orang begitu besar saat saya pertama share akan adanya Last.fm Gathering ini. Meskipun kemudian regenerasi di Verse Zine tidak terlaksana, tetapi saya mendapat banyak kawan baru.
Ada Eka Nurradhi yang kemudian membentuk Knurd Hamsun besama saya. Ada Ryan Aldian, kawan yang sering memberikan saya playlist chillwave. Ada Dini Lestari (sebenarnya sudah kenal Dini saat bersama beberapa kawan lain membikin sebuah acara kolektif bernama Komplikasi, tetapi saya dan dia baru akrab setelah berkenalan lagi di last.fm) yang kemudian hari ini menjadi bassist di dua band saya. Ada Yuda Walrus, seorang penulis yang tulisannya luar biasa brengsek dan kawan saya dalam mengamalkan titah-titah kudus Ian Brown. Dan banyak lain-lainnya. Hingga hari ini mereka tetap menjadi kawan saya dalam berbagi musik.
Ada Eka Nurradhi yang kemudian membentuk Knurd Hamsun besama saya. Ada Ryan Aldian, kawan yang sering memberikan saya playlist chillwave. Ada Dini Lestari (sebenarnya sudah kenal Dini saat bersama beberapa kawan lain membikin sebuah acara kolektif bernama Komplikasi, tetapi saya dan dia baru akrab setelah berkenalan lagi di last.fm) yang kemudian hari ini menjadi bassist di dua band saya. Ada Yuda Walrus, seorang penulis yang tulisannya luar biasa brengsek dan kawan saya dalam mengamalkan titah-titah kudus Ian Brown. Dan banyak lain-lainnya. Hingga hari ini mereka tetap menjadi kawan saya dalam berbagi musik.
Prolog.
Semua hal yang saya tulis dari atas, dari mulai ayah saya, majalah Ripple, last.fm hingga kawan-kawan yang saya kenal dari last.fm tersebut adalah mereka yang paing berjasa dalam hidup saya. Tanpa mereka, mungkin saya tidak akan seperti ini. Atau paling tidak, saya akan terlambat dalam permusikan indie/hipster/obscure/atau apapun itu namanya, saya tidak perduli. Yang pasti, dalam perkembangan selera musik saya sejak SD hingga hari ini, saya ingin mengucapkan hatur nuhun yang masif bagi semuanya. Tanpa mereka, entah saya akan membentuk Sadford Lads Club atau Soft Blood, atau mungkin saya tidak akan pernah menulis di surnalisme.com tempat saya menulis hari ini, atau juga tidak akan membikin Barokah Records.
Dan seperti yang sudah saya tulis sebelumnya, tanpa mereka, hidup saya mungkin akan terasa keliru.
Dan seperti yang sudah saya tulis sebelumnya, tanpa mereka, hidup saya mungkin akan terasa keliru.
0 comments