“Selamat datang. Silahkan pilih tempat duduk,” ucap salah seorang perempuan pegawai cafe padaku, ramah.
Aku tersenyum padanya.
Lantas aku berjalan menuju lantai dua cafe. Memilih sebuah meja didekat jendela. Aku sangat menyukai pemandangan dari cafe ini. Itulah kenapa aku memilih tempat duduk dipinggir jendela. Agar aku bisa leluasa menikmati pemandangan diluar cafe.
Pemandangan diluar cafe itu indah sekali, jika kalian ingin tahu. Dari jendela, aku bisa melihat pemandangan Kota Bandung dari atas sini, yang malam ini, hanya terlihat lampu-lampunya saja yang berkilauan. Aku seringkali membayangkan cahaya lampu-lampu itu kemudian bergerak bagai kunang-kunang, berpindah kesana kemari.
Perempuan pegawai tadi kembali menghampiriku, kali ini dia membawa serta sebuah menu dan kertas untuk menuliskan pesananku.
“Matcha Green Tea Latte,” pesanku.
“Ada yang lain?” Tanya perempuan pegawai tadi sambil terus menuliskan pesananku.
“Nanti saja menyusul,” jawabku sambil terus memperhatikannya menulis.
Kemudian setelah selesai menuliskan pesananku, perempuan pegawai tadi kembali pergi. Aku perhatikan dia sampai menghilang dibalik pintu.
Lalu aku membuka sebuah buku dari tote bag bergambar kucing milikku. Aku tahu, aku sedikit feminin dengan menggunakan tote bag bergambar kucing. Tapi jangan dahulu berpikir bahwa aku memang feminin. Tote bag ini adalah pemberian mantan kekasihku. Aku tetap menggunakan tote bag pemberiannya sekedar untuk menghormati bahwa dia pernah memberikan sesuatu padaku, dengan tulus.
Aku mengeluarkan buku My Name Is Red-nya Orhan Pamuk. Buku yang sejak beberapa tahun lalu belum terselesaikan karena pada awalnya, aku kurang begitu suka dengan buku bertemakan kehidupan timur tengah. Jangan tanya kenapa, karena aku sendiri pun tidak tahu.
Baru beberapa halaman aku baca, seorang perempuan naik ke lantai dua dan duduk tak jauh dari mejaku. Perempuan itu kira-kira berumur sama denganku, diawal dua puluhan. Dia berambut pendek dengan sedikit warna biru dibagian bawah kiri rambutnya. Dia mengenakan kaos putih bergaris hitam yang dipadukan dengan jaket army hijau dengan lengan digulung sedikit, dan dia mengenakan celana jeans yang bagian bawahnya digulung hingga mata kaki.
Dia lalu duduk sambil menghadap kearahku. Aku kemudian kembali mengarahkan pandanganku ke arah buku agar tak ketahuan sedang memperhatikannya. Aku mengambil bungkus Marlboro Merahku dari dalam tote bag dan menyalakannya sebatang. Pandanganku sesekali kembali kuarahkan pada perempuan itu.
Perempuan itu sedang membaca buku juga. Labirin Impian, sebuah buku kumpulan esai dari Jose Luis Borges. “Bagus juga selera bacanya,” batinku dalam hati.
“Matcha Green Tea Latte-nya, Mas,” secara tiba-tiba perempuan pegawai cafe memecah lamunanku.
“Terimakasih, Mbak,” ucapku pelan.
Perempuan pegawai cafe itu kembali pergi menuju dapur.
Kemudian secara tak disangka, disaat aku sedang memperhatikan perempuan didepanku, dia pun menatap kearahku dan lalu tersenyum. Aku sedkit kaget. Namun akhirnya kubalas juga senyumnya. Senyum yang manis itu.
“Sendiri?” tanya perempuan itu padaku.
“Iya. Sendiri juga?”
“Iya. Boleh gabung disana?”
“Boleh, boleh. Dengan senang hati,” aku menjawabnya tanpa basa-basi.
Kemudian dia pindah menuju mejaku dan duduk didepanku.
“Aria. Joni Ariadinata.” Ucapku sambil menyodorkan tangan kananku.
“Karenina.” Jawabnya sambil menjabat tanganku.
“Anna Karenina?” Tanyaku sambil tersenyum.
“Hahaha. Bukan. Karenina saja.”
Kemudian kita langsung lebur dalam percakapan-percakapan yang menarik. Dia ternyata seorang perempuan yang bukan sekedar cantik dan menarik, tetapi dia juga cerdas. Kita banyak bercakap tentang kesukaan kita pada sastra, seni dan musik. Juga mendebat beberapa analisisku tentang beberapa kasus politik di Indonesia (kebetulan aku adalah seorang mahasiswa jurusan Ilmu Pemerintahan).
Aku sangat suka ketika dia tersenyum, seolah semua keindahan pemandangan diluar jendela yang amat kusukai itu menjadi tak ada apa-apanya. Ada sebuah keindahan yang terancar dari wajahnya yang sedikit pucat. Aku sempat bertanya kenapa wajahnya pucat, dan dia menjawab bahwa dia sedang sakit. Aku pun sempat bertanya perihal namanya, Karenina. Dia menjawab bahwa kakeknya adalah warga Swedia yang menikah dengan orang Bandung. Pantas saja, pikirku.
Tak terasa sudah lebih dari satu jam kita bercakap. Malam pun sudah mulai tua.
Dia meminta izin untuk pergi ke toilet. Dan aku meminta bill pada perempuan pegawai cafe.
“Bill-nya ya, Mbak. Sekalian bill teman saya yang duduk di meja itu,” aku menunjuk kearah meja yang tadi sempat diduduki Karenina.
“Maaf. Yang duduk di meja mana ya, Mas?” Perempuan pegawai cafe itu sedikit kebingungan.
“Itu, perempuan yang barusan duduk dengan saya,” jawabku sambil ikut kebingungan.
“Loh, daritadi Mas duduk sendiri saja disini. Tidak ada pengunjung lain disini selain Mas.”
Perempuan pegawai cafe itu kemudian pergi sambil bergidik.
Aku lalu pergi ke toilet untuk memastikan bahwa Karenina ada disana. Dan ternyata di toilet tak ada siapa-siapa.
Lalu aku kembali ke meja. Tak ada lagi tas dan buku milik Karenina. Di meja hanya ada gelas kosong Matcha Green Tea, buku Orhan Pamuk dan tote bag bergambar kucing pemberian mantan kekasihku. Dan di depanku hanya ada sebuah kekosongan.
Cigadung,
10 Oktober 2014