Les Adieu
Wednesday, October 15, 2014
Teruntuk, Karina Permata Wardhani.
Karina, maaf jika akhirnya aku harus mengirim surat berisi tulisan panjang ini kepadamu. Bukan karena aku tak punya kerjaan lain. Tapi karena selama dua bulan ini, kamu selalu mengabaikan semua pesan pendekku, maupun chat di sosial media lainnya. Kamu pun tidak pernah mau menerima ajakanku untuk bertemu. Padahal, banyak hal yang ingin aku sampaikan padamu. Sempat pula kita beberapa kali tak sengaja bertemu di Dipatiukur waktu itu. Tapi kau seolah berubah menjadi orang asing yang tak kenal padaku. Kamu membuang muka dan seolah aku tak ada disana. Tapi aku mengerti. Semenjak kita berpisah, kamu sangat marah padaku. Kamu tetap teguh pada kebenaranmu: bahwa aku berselingkuh. Tapi, Karina, sampai saat ini, aku masih tetap teguh pula pada kebenaranku: bahwa perempuan itu, perempuan yang kamu lihat sedang tertidur di rumahku itu, adalah saudara sepupuku. Aku tak akan pernah mengubah hal itu, karena tak ada yang bisa diubah, bukan? Dia memang saudara sepupuku.
Karina, alasan aku menulis surat yang panjang ini, bukan untuk meminta maaf akan hal itu. Toh, aku tetap teguh pula pada pendirianku, bahwa aku tak akan meminta maaf atas kesalahan yang tidak aku lakukan. Tapi alasanku kali ini lain. Sebenarnya, aku lebih ingin menyampaikan hal ini langsung melalui mulutku untuk kamu dengar langsung melalui telingamu. Tetapi tidak ada cara lain. Karina, beberapa hari lalu aku dipanggil Pak Tirta ke ruangannya. Aku pikir aku melakukan sebuah kesalahan atau ada tulisanku yang tak mengenakkan. Tetapi asumsiku salah, Karina. Aku masih ingat wajah Pak Tirta yang tersenyum padaku. Dia kemudian mempersilahkanku duduk dipinggirnya. Dia kemudian berkata, bahwa aku telah 5 tahun bekerja di Kantor Berita Antara ini dan tulisan-tulisanku memuaskan. Dan kamu tahu apa yang Pak Tirta ucapkan padaku, Karina? Kamu pasti tak akan percaya ini: Pak Tirta merekomendasikanku menjadi Kepala Biro Antara untuk Eropa yang akan mulai dibuka lagi. Kantornya di London dan bekerja sama dengan Reuters. Ya, Karina, itu berarti aku akan pindah ke London. Tapi sayangnya, Karina, kantor baru itu akan mulai dibuka dua bulan lagi. Itu artinya, dua bulan lagi (atau mungkin kurang), aku sudah mulai pindah ke London. Dan sayangnya lagi, Karina, aku masih belum bisa bertemu kamu kembali untuk (aku tidak suka mengucapkan ini, sebetulnya, tapi apa buat) sebuah perpisahan.
Aku tahu, saat ini kamu masih sedang di Bali dalam proses magangmu di Konsulat Jenderal Inggris. Dan itu yang aku sedihkan. Aku akan pergi tanpa bisa melihatmu sebelumnya. Tapi, karena kamu marah padaku, aku berpikir kamu akan senang dengan kepergianku. Toh, sekarang, ada atau tak ada aku pun, kamu tak akan perduli. Tapi, Karina, hal ini berbeda denganku. Aku memang senang dengan promosiku menjadi Kepala Biro di London. Tetapi jika tak bisa bertemu denganmu terlebih dahulu, walaupun itu hanya satu menit, aku tak bisa menyenangkan diriku dengan apapun. Dan aku pun tak bisa nekat pergi ke Bali karena banyak hal yang harus aku persiapkan sebelum aku berangkat. Dan aku tak tahu kapan kamu kembali ke Bandung.
Karina, aku tahu, kita sama-sama membenci perpisahan. Tetapi untuk hal ini, aku pikir kita (atau hanya aku, yang) membutuhkan perpisahan. We need a proper goodbye. Aku ingin sekali lagi melihat senyumanmu untuk aku simpan dalam kepalaku. Aku harap itu akan menjadi bekal untuk kehidupan baruku disana, agar aku bisa tetap bahagia.
Maafkan aku jika aku terlalu picisan dan norak. Tapi inilah cinta, Karina. Bukankah katamu, cinta itu memang selalu norak? Ya, Karina, cinta itu Norak. Dan lagi-lagi katamu, aku adalah lelaki paling norak namun (pernah menjadi yang) paling kamu sayangi.
Karina, jika memang Tuhan tidak mengizinkan kita untuk tidak bertemu sebelum aku berangkat, maka biarkan surat ini menjadi surat perpisahanku padamu. Aksara itu selalu dapat berbicara. Dia bisa menyuarakan apa yang tidak bisa mulut suarakan. Maka sebagai penutup surat ini, aku akan menuliskan tiga kata yang paling ingin aku ucapkan, namun untuk sekarang tidak bisa: aku sayang kamu.
Tertanda, Levi Husein.
0 comments