Les Adieu #2
Saturday, October 18, 2014
Teruntuk, Levy Husein.
Levy, pertama-tama, aku ingin mengatakan hal ini padamu: kenapa kamu menggunakan surat? Padahal menggunakan e-mail tentu lebih mudah, bukan? Memang, aku tahu, kamu bukan seseorang yang pragmatis. Tapi, sudahlah. Aku pun sebetulnya rindu surat menyurat seperti ini.
Levy, mungkin ini pertama kalinya aku kembali berhubungan denganmu. Dan memang aku menghindarimu setelah kita berpisah. Bukan karena aku membencimu. Tolong garis bawahi: bukan karena aku membencimu. Tapi ini karena aku membenci diriku sendiri. Setelah kita berpisah dengan segala kemarahanku padamu, aku lantas merenung. Bahwa sebenarnya kamu tidak salah, Levy. Beberapa hari setelah kita berpisah, saudara sepupumu itu datang ke rumahku. Dia meminta maaf padaku karena telah menyebabkan kesalahpahaman ini. Dia lantas memperlihatkanku ‘bukti’ bahwa dia memang benar saudara sepupumu. Dia bahkan memperlihatkanku fotomu saat kecil, saat kamu menangis akibat terjatuh dari pohon mangga didepan rumahmu. Lalu dia pun memperlihatkanku fotomu saat kamu berpakaian polisi saat Taman Kanak-Kanak. Setelah itu, Levy, aku benar-benar tersadar bahwa akulah yang salah. Aku terlalu dirasuki oleh kecemburuan. Lalu aku menghindarimu, karena aku malu. Malu padamu dan pada diriku sendiri. Setiap melihatmu, aku langsung merasa bahwa diriku adalah wanita paling bodoh. Betapa tidak, aku melepaskanmu hanya karena kecemburuan tak berdasar. Dan aku bodoh, karena terlalu malu dan gengsi untuk meminta maaf.
Perihal kepindahanmu ke London. Aku senang sekaligus sedih. Senang, karena inilah yang kamu inginkan, bukan? Aku masih ingat, kamu pernah berkata padaku saat kita sedang berjalan di bawah pepohonan THR Dago Pakar.
“Aku ingin bekerja di luar negeri. Lalu membawamu kesana, kita menikah dan membesarkan anak-anak kita disana,” katamu sambil menggandeng tanganku. Di dalam hati, aku mengamini harapanmu itu, Lev. Dan syukurlah, harapanmu itu terpenuhi sekarang. Walaupun tanpaku. Dan yang aku sedihkan bukan karena kamu tinggal disana bukan tanpaku, melainkan karena kecil kemungkinan kita bisa bertemu sebelum kamu berangkat. Aku sekarang sudah resmi bekerja disini, bukan hanya pegawai magang. Aku tidak diperbolehkan pulang karena kesibukanku disini. Itu yang aku sedihkan.
Jujur, Lev, aku rindu padamu. Dan rindu itu, berbentuk tatapan mata dibalik kacamatamu padaku. Tatapan matamu yang meneduhkan bagai pepohonan rindang. Lalu rindu itu berbentuk pelukanmu. Pelukanmu yang menghangatkan bagai sinar matahari pagi. Lalu rindu itu berbentuk kecupanmu. Kecupanmu yang manis bagai buah cherry. Rindu itu berbentuk dirimu.
Dan jujur, Lev. Aku pun masih menyayangimu. Aku mencintaimu kesederhanaamu; sesederhana bait-bait puisi, sesederhana lagu-lagu Belle and Sebastian. Aku selalu ingat momen pertama kali kita berkenalan. Kamu menyapaku di kampus dan pura-pura ingin mewancaraiku untuk zine kampusmu. Lalu kamu meminta nomor handphone-ku. Setelah itu, wawancara itu tak pernah ada. Yang ada hanyalah rasa suka yang muncul setelah tahu bahwa kamu adalah lelaki yang baik padaku. Beberapa bulan kemudian, kamu menyatakan perasaanmu padaku. Dan sejak saat itu, Lev, perasaan sayangku padamu semakin bertambah setiap harinya. Bahkan sampai saat ini.
Levy, mungkin benar katamu, Tuhan sepertinya tak mengizinkan kita untuk bertemu sebelum kamu berangkat. Dan jika memang benar seperti itu, maka tak ada lagi yang bisa aku lakukan selain merelakan kepergianmu. Aku janji, Lev, suatu saat aku akan pergi ke London dan menemuimu. Toh, aku bekerja di Konsulat Jenderal Inggris. Dan, Lev, aku pun akan menutup surat ini sama sepertimu, dengan menuliskan tiga kata yang paling ingin aku ucapkan, namun untuk sekarang tidak bisa: aku sayang kamu.
Tertanda, Karina Permata Wardhani.
0 comments