Obrolan Relijius Bersama Kim Seol-hyun

Friday, March 25, 2016






Cuaca Kota Bandung sedang dingin-dinginnya malam itu. Saya sedang duduk sendiri di salah satu kedai yang menu andalannya adalah mie rebus atau goreng dengan tumpukan keju atau kornet di atasnya. Saya tidak bisa menuliskan nama tempat tersebut karena tidak boleh. Pokoknya, malam itu saya duduk sendiri disini. Suasana lumayan sepi karena hujan besar baru saja mengguyur Kota Bandung. Mungkin orang-orang lebih memilih untuk berdiam di rumah atau kosannya, menyamankan diri dibawah pelukan selimut atau dibawah pelukan kekasihnya, entahlah.

Saya yang malam itu mengenakan satu lapis sweater yang dilapisi lagi dengan parka ternyata masih merasa dingin. Angin malam Kota Bandung sedang jahat-jahatnya malam itu. Tapi ada sebuah momen dimana kemudian saya secara tiba-tiba merasakan hangat di sekujur tubuh saya: muncul seorang perempuan lucu nan menggemaskan yang tiba-tiba duduk di kursi pinggir saya. Saya masih terkaget-kaget saat dia kemudian melengkungkan bibirnya menjadi serupa pelangi terbalik. Dia tersenyum padaku.


Anjing!

Saya mengengok ke kanan dan ke kiri layaknya sehabis atahiyat akhir. Saya kebingungan. Tetapi dalam benak saya yang paling dalam, saya seperti mengenal perempuan ini. Saya tahu dia perempuan asal Korea Selatan. Saya tahu saya pernah melihatnya di salah satu video, atau sebuah variety show yang terlampau malu untuk saya sebutkan disini karena lantas orang-orang akan tahu kalau saya sering menontonnya.

Selama beberapa menit tersebut kita saling diam. Sepertinya dia ingin saya tanya, tetapi kepala saya masih terasa bingung dan membeku. Tapi kemudian dia yang berbicara terlebih dahulu:

“Hallo selamat malam. Assalamualaikum,” ucapnya dengan senyum yang bisa membikin orang paling komunis sekalipun akan menjadi kapitalis demi mendapatkannya. “Boleh saya duduk disini?”

Dalam hati saya: Boleh lah, selain siapa yang mau menolaknya, kamu juga sudah duduk disini sebelum meminta izin.

“Oh, Waalaikumsalam. Silahkan, silahkan,” jawab saya sambil tersenyum dan mengingat-ngingat nama perempuan cantik ini.

Kim Jong Un, bukan. Kim Jong Kook, bukan. Kim Kadarshian, apalagi... bukan. Kim Seol-hyun, ya... Kim Seol-hyun! Dia adalah Kim Seol-hyun!

“Maaf, kamu Seol-hyun bukan?” Tanya saya memberanikan diri.

“Yah. Ketahuan juga. Padahal saya sedang menyamar loh,” jawabnya manja.
“Tau, lah. Siapa sih yang tak kenal kamu. Sedang apa di Bandung?”

“Sedang liburan. Saya lelah bekerja terus di Korea. Akhirnya saya kabur kesini sendirian. Sekalian spiritual trip juga. Eh, nama kamu siapa?” Dia kemudian menyodorkan tangannya ke depanku yang membuat saya secara otomatis memegang tangannya dan menjabatnya.

“Oh, nama saya Mirza.”

Kemudian kita saling melemparkan pertanyaan basa-basi untuk mencairkan suasana kaku yang terasa sejak detik pertama mahkluk menggemaskan ini duduk di samping saya. Percakapan terus bergulir. Awalnya hanya obrolan-obrolan ringan, kemudian makin menjurus ke obrolan-obrolan berat.

“Yun (panggilan akrab saya), kamu percaya pernikahan gak?”
“Boro-boro pernikahan, Mir, cinta aja saya mah enggak percaya,” jawabnya sambil memainkan ujung rambutnya. Anjing! Melihat adegan ini saya seperti ingin bermain trampolin.
“Loh. Terus di setiap lagu-lagu kamu di AoA itu kan hampir semuanya bertemakan cinta, Yun.”
“Iya sih. Tapi kan yang menulis itu orang lain. Saya disuruh nyanyi dan joget-joget doang. Terlepas dari itu, saya mah enggak percaya cinta. Atau mungkin lebih tepatnya, belum.”
“Kenapa? Apa karena ukhti pernah dikecewakan oleh cinta?”
“Tidak. Saya bahkan belom pernah pacaran, Mir. Sedih ya. Mungkin kenapa saya tidak percaya cinta adalah karena saya belum pernah merasakannya,” jawabnya sambil kemudian menunduk dan memainkan jari jemarinya yang sepertinya halus.

(Saya ingin sekali mengatakan bahwa saya bersedia menjadi pacar pertamanya dan mengajarkan apa artinya kenyamanan dan kesempurnaan cinta. Tapi apadaya, saya hanyalah debu-debu yang menempel di sol sepatunya.)

“Hmm. Kamu kudu pacaran, Yun. Biar kamu enggak melankolis dan menyesal.”
“Menyesal kenapa?”
“Kalau pada suatu saat nanti kamu sadar bahwa seharusnya kamu merasakan cinta lebih awal. Cinta masa muda itu adalah yang paling manis, Yun. Percaya deh sama saya,” jawab saya dengan senyum menggoda.
“Aa percaya cinta?” Secara tiba-tiba dia memanggil saya dengan sebutan ‘aa’ padahal saya tidak menyuruhnya. Tapi kalau saya sih, senang.
“Aa percaya cinta, Yun. Tapi ada satu hal yang lebih besar dari cinta itu sendiri. Dengerin Efek Rumah Kaca ga?”
“Iya dengerin kok, a. Kenapa memang?”
“Nah, kata Efek Rumah Kaca juga kan, jatuh cinta itu biasa saja. Yang luar biasa adalah kasih sayang, Yun. Seperti Allah yang mengasihi hamba-hambanya. Nabi Muhammad SAW yang mengasihi umatnya—bahkan yang bukan umatnya. Itu bagi saya lebih besar dari cinta itu sendiri,” jawab saya sok bijak. Padahal saya sendiri hidup tanpa cinta selama tiga tahun belakangan ini. “Kalau kamu sudah merasakan kasih sayang, akan mudah untuk merasakan cinta,” lanjut saya.

(Kemudian Seol-hyun yang belasan menit yang lalu memesan Internet Keju pun kegirangan saat pesanannya tersebut datang.)

“Ah, sudahlah, a. Jangan ngomongin cinta lagi. Pusing kepala Yuyun, a,” ujarnya sambil meniup-niupi mangkuk berisi Mie rebus berhiaskan kornet dan tumpukan keju ini.

Kemudian saya membiarkan dia menyantap pesanannya terlebih dahulu.

“Kamu tahu gak, Yun, kawan saya ada yang masuk rumah sakit gara-gara memakan itu,” ucap saya sambil menunjuk mangkuk isinya yang sedang dilahap Seol-hyun. Pipi gemasnya yang kembang-kempis itu rupanya makin membuat saya merasakan aura surgawi.
“Loh, kenapa, a? Kok bisa?” Jawabnya terkejut. Dia kemudian menyimpan sendok dan garpu dengan muka kaget yang... anjing... makin membuatnya terlihat lucu. Kudus, layaknya senyuman malaikat.
"Soalnya pas abis makan itu, dia tabrakan, Yun. Lupa ngangkat standar motornya. Pas di tikungan oleng. Masuk RSHS weh si eta teh,” jawab saya terkekeh.
“Tuh da kamu mah, garing ih. Pantes weh jomblo,” jawabnya sambil memasang muka sebal-sebal manja.
Dia kemudian meneruskan menyantap pesanannya tanpa berbicara sepatah kata pun. Saya terus saja memperhatikannya layaknya anak bocah memperhatikan film porno pertamannya.

“Yun, maaf nih saya nanya ini. Tapi saya penasaran banget. Kamu jangan marah ya,” ujar saya. Seol-hyun hanya mengangguk saja.
“Kamu di operasi plastik gak?”

Seol-hyun tersenyum.

“Enggak, a. Yuyun mah enggak mau merubah kodrat Allah. Allah teh sudah menciptakan manusia dengan segala rupa kekurangan dan kelebihannya. Operasi plastik itu kan pada dasarnya merubah tubuh kepunyaan Allah ini a. Dan syaithan selalu menggoda kita untuk merubahnya. Kalau kita merubah tubuh kita, itu artinya kita telah menjadikan syaithan sebagai pelindung selain Allah. Kan ada dijelasin dalam surat An-Nisaa ayat 117-119. Ih si aa mah pasti ga pernah baca Al-Qur’an ya?”

“Eh, saya lupa, Yun. Yang gimana sih bunyinya?”
“Yuyun juga lupa lagi sih, a. Udah lama enggak ngaji. Tapi ya intinya gitu sih, a. Bahwa merubah salah satu bagian tubuh demi kecantikan itu perbuatan syaithan. Yuyun mah gak mau atuh menduakan Allah,” jawabnya dengan serius.
“Subhanallah. Ternyata kamu relijius juga ya, Yun.”
“Alhamdulillah a. Hasil mondok di pesantren si abah. Hehehe.”

Obrolan relijius kita akhirnya terhenti karena Seol-hyun izin untuk pamit. Dia akan langsung pergi ke Daarut Tauhid untuk bertemu dengan Teh Ninih. Diskusi soal poligami, katanya. Sebelum pergi, Seol-hyun dan saya cipika-cipiki terlebih dahulu dan kemudian selfie menggunakan handphone kepunyaannya. Sayang saya tak sempat meminta kontaknya untuk meminta dikirim foto tersebut. Alhasil, saya hanya bisa berdoa kepada Allah SWT agar kembali dipertemukan dengan wanita yang cocok untuk dijadikan mamahnya anak-anak ini.

You Might Also Like

0 comments

Subscribe