Kebodohan Yang Lain
Thursday, August 15, 2013
Kupikir, ada banyak hal lebih penting yang bisa kita lakukan daripada berbicara perihal perasaan. Seperti membangun masjid atau memikirkan bagaimana caranya membikin semua umat beragama di dunia bisa berdamai. Bukan lantas diam merokok sambil menatap jendela dan menjadi melankolis. Kita seringkali saling emosi membincangkan hal seperti ini. Saling beradu argumen, berdebat sampai marah, lantas saling diam, saling acuh dan pada akhirnya menertawakan semua kebodohan dan omong kosong ini.
“Seharusnya kita bisa lebih bijak. Dan aku rasa ini sangat menyebalkan saat kita menertawakan diri sendiri,” kata seorang teman padaku suatu waktu.
Aku tak menggubris kata-katanya hingga saat ini. Yang aku lakukan hanyalah menyesap rokok sambil menatap jendela dan mengingat kebodohan-kebodohan yang pernah aku lakukan, padamu. Seharusnya aku tak melakukan itu, seharusnya aku tak melakukan ini. Dan aku tetap saja menertawakan diriku sendiri. Betapa bodohnya aku sampai melakukan hal itu. Hal yang alih-alih membuat baik keadaan, malah memperburuknya.
Aku membikin teh manis hangat.
Hampir setiap malam kau dan aku selalu menyeduh kopi, bukan teh seperti yang aku lakukan ini. Dan aku secara tiba-tiba menatap gelas teh ini dan memikirkan segelas kopi. Segelas teh ini terasa begitu pragmatis buatku sekarang. Nilai sebuah teh hanya sebagai penghangat. Dan aku tak akan bisa menikmati setiap pahit getirnya. Mungkin sesekali aku harus lebih melodramatis.
Ya, memang dingin pagi ini. Dan aku menolak untuk mandi, karena mandi adalah sebuah bentuk pesimisme diri terhadap penampilan.
Aku menyadari, dulu, hidupku sesak dengan keinginan-keinginan dan lupa bagaimana cara menikmati hidup. Tapi ya, hidup yang semacam itu membuatku terus ada. Getirnya teh saja bisa menggunakan gula atau madu sebagai pemanis. Akan selalu ada rasa. Bahkan hidupku saja sudah terlalu getir untuk ditambah pahitnya rasa teh yang menyebalkan itu. Kenapa harus dibebani oleh cita rasa murni? Manusia seringkali terlalu meletakan nilai-nilai yang nisbi pada hal yang semacam ini.
Ah, sudahlah semua tetek bengek ini. Aku menyalakan lagu. Float menembangkan Tiap Senja kali ini.
Bosan sekali sore ini. Jangan bilang ini karena aku sudah merindukanmu yang bahkan baru saja beberapa jam lalu kita bertemu. Tidak, ini adalah hal lain.
Tunggu, adakah hal lain itu? Ataukah ini hanya alasan saja agar aku tidak dibilang cemen karena secepat itu merindukanmu?
Bisa jadi.
“Rindu itu tak berkonsep. Dia bisa datang kapan saja semau dia,” katamu beberapa bulan yang lalu.
Ya, kamu memang selalu benar, Sayang. Rindu itu memang tak berkonsep. Dia dengan seenaknya bisa datang kapan saja. Seperti doa-doa, rindu selalu ada. Dan hey, bukankah ini seperti konsep yang aku tulis diatas? Rindu ibarat gula, dan hubungan kita ibarat teh. Itu yang membuat semuanya terasa manis, bukankah begitu? Dan biarkan saja aku menjadi pragmatis. Toh, tidak ada yang peduli juga. Yang penting, semua kegetiran ini menjadi manis. Dan aku tidak perlu meludah karena semuanya terasa begitu pahit.
Teh sudah habis. Dan aku memilih untuk membuat segelas lagi.
Pernah pada suatu hari, kamu memilih tertidur terlebih dahulu, dan aku duduk dipinggirmu yang sedang tertidur. Aku membikin segelas teh, bedanya saat itu aku menambahkan susu. Aku menatap matamu yang sedang terpejam dan secara tidak sengaja sebuah lagu milik Anda berputar di laptopku. “Oh biru. Indah dirimu hempaskan aku. Jauhku tenggelam dalam tatapmu. Sesatku dalam kasihmu,” aku ikut bernyanyi dalam hati saat itu. Aku tetap menatap matamu sambil membelai rambutmu. Aku lakukan itu hingga lagu berhenti dan teh sudah mulai dingin.
Aku menghangatkan teh sambil menghangatkan tubuhmu dengan memakaikan selimut.
Aku jadi teringat saat perjalanan pulang dari Bandung menuju Jatinangor beberapa waktu lalu, setelah acara Telling Sweetness-mu yang berhasil itu. Kamu lupa membawa jaket, dan aku memakaikan jaketku ditubuhmu. Sepanjang perjalanan aku menahan dingin dan sakit di dada karena hanya mengenakan kemeja pendek. Dan, sesampainya di kosanmu, rasa sakit itu makin menjadi. Namun aku tersenyum dan bahagia dalam hati karena aku telah melakukan sesuatu yang benar untukmu. Dan tak lama kemudian, kamu memelukku. Dan seperti ada aliran magis dari pelukanmu itu, rasa dingin dan rasa sakit itu hilang. Ya, tak ada yang abadi, bahkan untuk sebuah rasa sakit dan rasa dingin. Dan ya, pelukanmu. Pelukanmu adalah sebuah hal yang kudus dan intim. Aku bahkan bisa menemukan tuhan didalam pelukanmu.
—
“Maaf ya tadi aku gitu pagi-pagi ke kamu,” aku mengirim sebuah pesan padanya. Sebuah permohonan maaf karena telah melakukan sekali lagi sebuah kebodohan yang seharusnya tidak perlu.
“Iya. It’s okay. :)” kamu membalasnya singkat. Aku tau kamu tidak benar-benar berkata seperti itu. Namun mungkin kamu memiliki pemikiran yang sama denganku; kamu tidak mau berdebat denganku karena semuanya hanya akan berakhir menjadi sebuah bahan tertawaan kita saja, sebuah kebodohanku yang lain.
Teh sudah habis, dan aku memutuskan untuk membikin segelas kopi.
0 comments