Tentang Si Mati Yang Rindu Si Hidup

Sunday, July 19, 2015

IMG_2817
Satu-dua orang lalu lalang. Dan aku selalu saja berdiri disini. Kadang pula aku duduk. Bukan karena pegal atau capek karena terus-terusan berdiri, tapi karena aku ingin. Di ruang depan rumah kosong ini aku berdiam setiap harinya: memandang jendela yang menampilkan pemandangan jalan kecil yang sepi. Rumah ini dulu dimiliki oleh Pak Bagus, yang baru beberapa tahun meninggali rumah ini, lantas pindah karena tak suka dengan keberadaanku. Aku senang mengganggu mereka, karena rumah Pak Bagus ini selalu kedatangan banyak tamu. Bukan untuk bersilaturahmi, tetapi untuk bermain judi. Maklum, Pak Bagus itu seorang bandar judi dan rumahnya adalah tempat untuk berjudi. Ada belasan mesin-mesin permainan yang telah diotak-atik hingga menjadi alat berjudi. Aku tahu karena terkadang aku melihat mereka bermain.
Setelah Pak Bagus pindah, rumah ini kosong selama bertahun-tahun sampai sekarang. Aku sampai bosan sendiri karena jarang sekali ada manusia disini. Kecuali pasangan muda-mudi tak bermodal yang masuk rumah kosong ini dan bersetubuh. Aku tak suka melihat mereka bersetubuh, karena itu membuatku merindukan menjadi manusia. Aku tak tahu kenapa aku masih bisa merindukan rasanya menjadi manusia dan masih mengingat bagaimana rasanya. Padahal aku telah meninggal puluhan tahun lalu, dibunuh dengan cara ditembak dikepala dari jarak satu-dua centi saja, aku lupa. Aku dibunuh oleh beberapa orang tentara karena aku anggota Partai Komunis Indonesia (yang saat itu semua anggotanya diburu untuk dibunuh secara kejam). Tapi aku masih bisa mengingat waktu-waktu dimana aku masih hidup. Aku masih ingat wajah istriku, anak-anakku dan kawan-kawanku. Untuk istrikku, aku pernah bertemu dengannya sekali setelah aku menjadi bukan manusia lagi, dia terlihat sudah tua, dan dia sudah meninggal. Saat itu aku ingin sekali memeluknya tapi aku tak bisa. Setelah pertemuan itu, aku tak pernah bertemu lagi dengannya.
Dahulu aku bukan orang yang jahat. Aku tidak pernah membunuh orang atau kejahatan lainnya. Aku dibunuh hanya karena ideologiku yang berbeda. Aku seorang komunis dan aku dituduh terlibat dalam G30S. Padahal aku tak pernah tahu-menahu soal itu. Yang aku tahu, pemerintah mengharamkan partaiku dan kemudian sebuah peluru masuk kepalaku dan menghancurkan otakku. Tapi anehnya, aku masih bisa berpikir. Aku masih ingat isi setiap buku yang aku baca. Apalagi, dulu aku pernah ditempatkan untuk mengganggu manusia di sebuah perpustakaan, yang mana perpustakaan itu selalu sepi. Mungkin manusia-manusia zaman sekarang sudah tidak memilikki minat baca dan membutuhkan buku. Jadi buku-buku itu aku yang baca. Sehingga untuk ukuran hantu, aku terbilang pintar. Hanya saja aku tak tahu untuk apa kepintaranku ini. Seorang hantu tidak dilihat dari pintar atau tidaknya, tetapi menyeramkan atau tidaknya dia. Aku tak pernah merasa menyeramkan, tetapi manusia-manusia selalu takut jika aku ganggu. Aku tak bertahan lama di perpustakaan tadi karena penjaga perpustakaan itu menyuruh seseorang untuk mengusirku. Hingga sampailah aku di rumah kosong ini.
Sejujurnya aku tak pernah menginginkan untuk menjadi hantu dan menakut-nakuti manusia seperti aku sekarang ini. Tetapi aku tak punya pilihan lain jika aku tak ingin tersiksa. Aku punya seorang ‘Nyai’ yang menjadi semacam mandor bagi kami, dan dia selalu menyiksa setiap hantu yang tak mau mengganggu manusia. Aku tak pernah tahu siapa nama dia yang sebenarnya. Tapi semua orang… maaf, maksudku semua hantu sepertiku hanya memanggilnya Nyai. Nyai ini jika masih menjadi manusia, mungkin umurnya sudah ratusan tahun, tetapi dia masih terlihat muda. Dan bagi ukuran hantu seperti kami saja, dia terlihat menakutkan. Katanya dulu dia adalah seorang dukun. Aku percaya saja.
Aku tak ingin mengganggu manusia, jujur saja. Atau mungkin pada intinya, aku ingin menjadi hantu yang bebas. Aku tak ingin takut kepada Nyai dan menurut kepada semua titahnya. Tapi aku tak mampu. Aku merasa seperti buruh yang diperlakukan secara tidak adil. Dan berbeda seperti disaat aku hidup, sekarang tak ada yang bisa membelaku seperti yang aku lakukan dengan partaiku dulu disaat aku hidup. Hmm. Lagi-lagi aku rindu aku yang bebas dan aku yang hidup. Sekarang, yang bisa aku lakukan hanya berdiam diri memandang jendela dan jalan kecil yang kosong.
Dua orang pemuda masuk rumah kosong ini sambil memegang botol yang dibungkus kantong kresek berwarna hitam. Minuman keras, aku yakin. Mereka duduk tak jauh dari tempatku berdiri. Aku ikut duduk seperti mereka, memandangi mereka berdua. Kali ini aku hanya berdiam memandangi mereka, nanti saja mengganggunya. Mereka berdua minum teguk demi teguk dari botol itu.
Salah satu pemuda itu berdiri dan berjalan kearahku memandangi jendela. Dia berdiri tepat ditempatku duduk kemudian membalikkan badannya lalu duduk. Dan dia duduk tepat ditempatku duduk. Dan kemudian semuanya gelap.
Sial! Aku kemasukkan manusia!
Dan dari semua kepintaranku, aku tak pernah membaca tentang bagaimana caranya mengeluarkan manusia dari tubuhku.
Sial.

You Might Also Like

0 comments

Subscribe