Yang Terbaik di 2016
Monday, December 26, 2016
Akhirnya akan datang lagi waktu seperti ini. Akhir tahun, mulai merapalkan resolusi-resolusi untuk tahun depan, mengingat-ngingat apa saja yang kita lakukan dan terjadi di tahun ini, dan tentunya--setidaknya bagi saya--daftar album terbaik tahun ini. Tapi untuk kali ini, saya terlalu malas untuk menulis review dari album-album favorit saya seperti tahun-tahun sebelumnya. Lagipula, siapa juga yang akan membaca album terbaik versi saya ini? Dan juga, saya sudah terlampau memiliki banyak hutang tulisan untuk Surnalisme yang belum saya selesaikan.
Jadi, untuk kali ini, saya hanya akan membikin list kecil dengan sedikit review. Tapi entahlah, saya bahkan belum membikin list itu sebelumnya. Semuanya akan saya pikirkan dan ingat-ingat sekarang. Dan di postingan ini saya akan membikin list khusus untuk rilisan lokal terlebih dahulu. Untuk luarnya mungkin akan saya tulis di postingan selanjutnya. Jika sempat.
Untuk album penuh pertama yang benar-benar nyangkut di telinga saya adalah Landscape dari Peonies. Di scene lokal, sebenarnya apa yang Peonies bawakan dalam musiknya tidak baru-baru amat. Sudah ada beberapa band yang membawakan musik seperti itu. Tapi entahlah, saya merasa ada sesuatu yang fresh dari Landscape ini. Rasanya tidak monoton saat saya mendengarkan dari track pertama sampai terakhir. Ada berbagai aura yang muncul dari album ini. Dan inilah yang menjadikan Peonies menarik, meskipun sebenarnya tak ada yang begitu baru dari musiknya. Lalu tentunya, Mondo Gascaro dengan Rajakelana sangat meninggalkan impresi yang mendalam bagi saya. Aura Sore-nya masih ada. Tapi bukan berarti album ini sepenuhnya seperti Sore. Album ini seperti perpaduan antara Tatsuro Yamashita, Shigeo Sekito, Steely Dan dengan sentuhan cita rasa lokal.
Indische Party kemudian hadir kembali dengan Analog. Jika Mondo Gascaro muncul membawa aura retro-pop yang syahdu, maka Indische Party muncul dengan sedikit distorsi dan ketukan drum yang lebih kencang. Seperti, entahlah, campuran antara Duane Eddy, The Everly Brothers dan sedikit Dick Dale di beberapa part. Rasanya, Indische Party sedang mencoba untuk meromantisir kembali era awal rock and roll pada tahun 50an. Dan gilanya, mereka berhasil. Berbeda dengan Mondo Gascaro atau Indische Party yang membawakan musik yang terpaut jauh generasi, Sunny Summer Day sedikit lebih maju sedikit menuju tahun 80an akhir dan 90an awal. Mereka membawakan musik indiepop klasik ala The Sea Urchins dan katalog Sarah Records lainnya yang sangat kental dalam Traveled Backwards. Saya mengenal Sunny Summer Day sudah sejak lama. Sejak indiepop/twee pop sangat menjamur di Bandung, khususnya. Dan disaat satu persatu band-band itu hilang entah kemana, Sunny Summer Day kemudian muncul lagi dengan Traveled Backwards yang dirilis Lisdia Records. Meskipun di beberapa lagu lama mereka, saya lebih menyukai versi awalnya (versi EP/single), tapi untungnya pop manis yang telah menjadi ciri khas mereka dari awal masih terjaga kekudusannya. Khusus untuk track "Semua Pasti Berubah", saya sangat salut karena mereka bisa memadukan musik twee pop dengan Bahasa Indonesia yang tidak corny secara brilian.
Honorable mention: Bin Idris - S/T / A. Nayaka - Curriculum Vitae / The Trees & The Wild - Zaman, Zaman / Elephant Kind - City J.
Grief EP dari Collapse adalah nama yang langsung muncul di kepala saya untuk bagian EP favorit di 2016 ini. Dengan musik alternative/indie rock/shoegaze ini, Collapse langsung mencuri perhatian saya sejak awal. Hanya butuh 5 lagu dan 10 menit bagi mereka untuk memaksa saya memasukkan nama mereka kedalam list ini bahkan sejak sebelum saya memiliki niat untuk membikin list ini. Masih ada sangkut pautnya dengan Collapse karena bassist mereka, Fatzky, juga merupakan punggawa dari band yang akan saya sebut ini, Fuzzy, I. Lewat Neonato, mereka seolah ingin memperkosa dan menghancurkan gendang telinga saya dengan 5 lagunya. Seperti Metz yang bersekongkol dengan Drive Like Jehu. Seperti campuran antara anggur merah dengan antimo, mereka sangat berbahaya.
Lalu ada trio setan asal Jatinangor yang sudah bukan asal Jatinangor lagi, Uncanny. Uyo memang brengsek. Teriakannya seakan menggema, bersahutan dengan raungan gitarnya yang berdistorsi tebal sedikit kering, dan hal ini menempel begitu lama di kepala setelah mendengarkan Ferris Wheel EP. Bayangan terliar saya sedang berisi proyeksi Sonic Youth berkolaborasi dengan The Melvins dan At the Drive In dengan wajah Uyo, Indra dan Atip. Berpindah agak jauh menuju Yogyakarta sana, ada Annie Hall yang memainkan shoegaze yang berat, basah dan lambat di Saudade EP. Seperti Justin Broadrick bergabung dengan Whirr sambil mengajak Boris untuk mengisi fuzz-drone. Yang menarik dari Annie Hall ini adalah bagaimana mereka berhasil memanjakan pendengar shoegaze puritan era 90-an dengan pendengar nu-gaze era ini. Plus, desain cover yang sangat bagus juga merupakan poin tambahan bagi mereka.
Kembali lagi ke sisi barat pulau Jawa sambil mampir ke Malang barang sebentar, Low Pink muncul melalui Kolibri Rekords. Aura psych pop yang kental terdapat pada Phases EP. Nama-nama seperti Ponds, Melody's Echo Chamber, sedikit bumbu Radiohead dan, hmm, Tame Impala adalah apa yang bisa kalian bayangkan saat mendengar 6 lagu di EP ini. Dan Low Pink, atau Raoul, meskipun akan terdengar klise, tapi dia sudah memberikan penyegaran di scene lokal. Begitupun dengan apa yang dilakukan Vira Talisa lewat mini album selftitled-nya. Vira memberikan kesegaran di ranah solois wanita yang masih berkutat di area acoustic folk medioker dan/atau jazzy pop. Vira, lewat EP-nya, memberikan kita romantisme ala Prancis melalui lima lagu sunshine pop ceria. Francoise Hardy-nya Indonesia?
Honorable mention: Yosugi - Friends, I Don't Have Many of Those EP / AGGI - The Pains of Being Stupid at Heart / RHYM - Stranger EP / Jirapah - Bits / Dystopian Dog - Anxiety EP.
Jika saja Guantanamo Baywatch atau Fidlar camping di Kiarapayung setelah tour dari Pantura, yang akan terjadi adalah munculnya lagu ini. Sinting.
Oscar berhasil mematahkan mitos bahwa folk tak melulu harus soal alam seperti yang sedang marak terjadi di scene folk lokal kita akhir-akhir ini.
Akhirnya ada juga yang membawakan pop punk ala Modern Baseball juga disini. Menyenangkan. Kudos untuk Dandy Gilang di Malang sana.
Indie pop/dream pop yang renyah dan manis. Seperti Secret Shine versi lebih modern. Cocok untuk masuk channel Majestic di youtube. (no sarcasm intended)
Mungkin pada masanya, Brighter atau The Orchids akan terasa mirip dengan The Sweetest Touch ini: sama-sama tidak begitu populer, tapi memainkan musik yang sungguh manis.
Ini adalah kemungkinan yang akan terjadi jika rombongan Teenage Fanclub tersesat di Malioboro setelah nongkrong di angkringan.
Yang muncul di kepala saya adalah: Dominic Palermo keluar dari Nothing dan bergabung dengan Title Fight. Hasilnya adalah Fernie Sue.
Menyuarakan apa yang Turnover hingga Pinegrove bersama rombongan Run For Cover lainnya lakukan di US sana. Bedanya, mereka menyuarakan semuanya dari Bekasi.
Talking Coasty hilang entah kemana. Dan sebagai gantinya, Grrrl Gang sebagai anggota terbaru Kolibri Mafia muncul memberikan semilir angin pantai Parangtritis yang hangat.
Seperti Rocketship jika mereka berhenti menuliskan lirik romantis dan mulai bermain-main dengan lirik sarkas ala The Pooh Sticks.
Musuik pop dan marxism? Sudah pernah dilakukan McCarthy. Tapi di Indonesia? Oh jelas, ada Bourgeois di garda terdepan!
Ada aura Johny Marr disini. Sedikit bumbu The Cure dan juga ada bau-bau Edson dan geng swedish pop lainnya. Dan brengseknya, lagu ini sudah menarik sejak dari intro.
Musiknya mengingatkan saya pada Max Gardener, vokalnya masih sedikit emo-ish tipikal Bagas di Beeswax atau Welter of Cinema. Tapi ini menarik. Slacker emo?
Lebih baik dari Dat $tick. Beats-nya memang tidak se-menendang Dat $tick. Tapi dari segi flow dan lirik, Who That Be jelas lebih baik.
Sama seperti Drake, Nayaka adalah tipe orang yang tak malu untuk menjadi emosional dan menjadi ringkih dalam rap-rap yang dia tulis. Rap Nayaka terbaik sejauh ini.
Low Pink - Phases
Dir. by Ratta Bill Abaggi
BAP / A. Nayaka / Tohji - Nothin
Dir. by Yosugi
Rich Chigga - Who That Be
Dir. by marshmallow tartz
Beetleflux - Delphine
Dir. by Ratta Bill Abaggi
Sore - Plastik Kita
Dir. by Daffa Andika & Ade Paloh
***
0 comments